Sabtu, 11 Februari 2012

Miss Lollipop (part two. we must get him)


“gila ya tuh murid baru keren abis”, seru zeva di jam istirahat.
Aku mencoba mencari-cari orang yang sedang di bicarakan zeva. “dia nggak ada di sini non”, zeva seakan tau apa yang kucari.
“emang loe liat dia dimana?”, vanya juga ikut ingin tau.
“tadi gue liat dia di ruang kepsek”, zeva mulai senyum-senyum sendiri, mungkin dia sedang membayangkan wajah anak baru yang dia bilang keren abis itu.
“loe ngapain di ruang kepsek?”, tanyaku penasaran, karena setahuku zeva jarang memasuki ruang kepsek.
“tadi waktu gue lewat, banyak anak cewek yang pada ngintip. Dari pada gue penasaran, ya gue ikut ngintip aja”, zeva mulai tertawa.
“yeee”, aku dan vanya mencibir berbarengan.
“emang secakep apa sih tuh anak baru, kayaknya semua cewek di sekolah ini pada ngebet abis sama tuh orang”, aku tidak habis pikir aja ada cowok di sekolah ini yang cakepnya melebihi tomi, cowok yang terkenal paling cakep di sekolah ini. Tomi pun udah pernah jadi pacarku, yang ternyata dia playboy cap kadal.
“pokoknya tomi lewat deh”, jawab zeva dengan pasti.
“kayaknya boleh juga tuh kalo kita jadiin mangsa selanjutnya”, vanya tersenyum penuh arti setelah menemukan ide itu.
“tapi gue duluan ya, kan gue yang liat dia duluan dari pada kalian berdua”, baru kali ini aku melihat zeva sangat antusias dengan seorang cowok padahal biasanya dia jarang memilih-milih cowok yang akan menjadi mangsanya.
Aku mulai tertarik dengan apa yang di bicarakan zeva, “enak aja loe, yang paling penting siapa cepat dia dapat”
“kali ini gue pasti ngedapetin duluan daripada loe berdua”, vanya berkata antusias.
“selama ini kan nggak ada yang bisa ngalahin gue kalo udah masalah cowok, kali ini pasti gue juga yang dapetin”, aku berkata tidak mau kalah.
“kalo soal yang satu ini, gue pasti bakal ngalahin loe berdua”, zeva ikut panas mendengar kami berdua.
“hai, ka..kalian semua lagi ngomongin apa sih?”, suara gagap ben ikut bergabung. Ben, cowok cupu yang pernah ada di sekolah ini. Namanya sih keren, ben, tapi penampilannya nggak banget deh. Dengan kacamatanya yang tebal, celana yang menggantung karena di pakai sampai di atas perut, kancing atas baju yang selalu terkancing dengan dasi yang terlihat mencekik leher, model rambut belah tengah yang selalu terlihat basah karena di olesi minyak rambut, entah apa itu. Selain penampilannya yang nggak banget itu, dia juga satu-satunya anak di sekolah ini yang sangat..sangat..polos, bahkan seperti anak kecil. Mungkin sifatnya yang terlalu polos dan seperti anak kecil itu akibat karena tidak ada yang mau bergaul dengannya. Oleh karena itu ben selalu menjadi sasaran empuk semua orang untuk di jadikan lelucon. Pernah dia di kerjain sama anak-anak cowok di kelasnya. Ben di perlihatkan video porno, yang terjadi dia malah menjerit-jerit dengan keras. Dan bodohnya lagi, ben memberitahukan apa yang dia lihat kepada guru biologi saat pelajaran reproduksi manusia.
“yang pasti kita nggak lagi ngomongin loe ben”, sambut vanya menjawab pertanyaan ben dengan ketus.
“bagus deh ka…kalo kalian nggak lagi ngomongin aku, so…soalnya aku nggak suka kalo di omongin sama orang”, ben membetulkan kacamatanya yang tidak kenapa-napa. Kebiasaan ben yang selalu membenarkan kacamatanya ketika lagi berbicara dengan orang lain.
“yaudah, kalo loe nggak mau di omongin sama kita, mendingan loe pergi jajan aja ya jangan di sini”, zeva memasang wajah berpura-pura manis sambil mendorong ben.
“iya, ini a..aku mau jajan. Livi mau apa?aku be..beliin ya?”, ujar ben dengan berbinar-binar.
“makasih ya ben, tapi gue udah kenyang”, jawabku sambil tersenyum kecut.
Ben memasang wajah kecewanya, “ka..kalo gitu aku jajan dulu ya”
“iya udah sana pergi”, zeva kembali mendorong-dorong ben. Ben pergi dengan langkahnya yang ragu-ragu. Kemudian berbalik lagi menghampiri kami.
“ada apa lagi ben?”, tanya vanya dengan tidak sabar.
“aku lu..lupa mau bilang sesuatu”, ben mulai berfikir sejenak. Kami menunggunya mengingat apa yang mau dia katakan, “aku i..ingat sekarang, aku mau bilang kalo hari ini livi ca..cantik banget”, ben tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumnya dengan malas.
“cie…kayaknya ben bersedia tuh jadi mangsa baru loe vi”, vanya mulai meledekku.
“eh…sembarangan aja loe, mana mau gue sama cowok cupu kayak gitu”
“loe jangan rakus vi, loe kan udah ada ben, anak baru itu buat gue”, zeva cekikikan sendiri dengan apa yang di katakannya. Aku hanya memasang wajah cemberut.
“jangan senang dulu loe va, gue pasti yang bakal dapetin dia”, vanya membuka kembali perang adu mulut untuk memperebutkan anak baru yang sama sekali belum pernah dia lihat. Kenal pun hanya dari omongan dari mulut ke mulut. Bahkan, namanya saja belum ada yang tahu.

 
“livi sayaaang, kita udah tau dong nama anak baru itu”, vanya dan zeva berteriak menghampiriku yang sedang duduk di dalam kelas. Mereka memang habis menyelidiki tentang anak baru itu dengan ikut bergosip ria dengan bigos (biang gosip) di sekolah ini. Apalagi sekarang vanya semakin gencar ingin mendapatkan cowok itu setelah dia melihatnya di parkiran sekolah. Hanya aku yang belum melihat anak baru itu, padahal dia sudah tiga hari berada di sekolah ini. Sebenarnya tadi aku mau mengikuti zeva dan vanya untuk mencari tahu tentang cowok yang satu ini tapi ray keburu datang menghampiriku.
“siapa namanya?”
“namanya ARBY!!!”, zeva dan vanya menjawabnya dengan serempak dengan volume yang cukup keras. Kemudian mereka mulai senyum-senyum nggak jelas.
“kalian ini kenapa deh, biasanya juga kalian yang di kejar-kejar cowok tapi sekarang malah kalian yang ngejar-ngejar cowok”, tanyaku heran karena melihat tingkah kedua sahabatku ini.
Vanya melirik ke arahku, “pliss deh non, loe belum ngeliat dia sih”
Zeva mengangguk-angguk menyetujui perkataan vanya, “iya, coba loe ngeliat dia, pasti nggak kalah heboh deh sama kita berdua”
“oke gue kalah, gue emang belum ngeliat tuh cowok sih”
“gimana kalo hari ini kita cari si arby biar loe bisa tau betapa cakep nya dia”, zeva kembali bersemangat, apalagi memang maunya dia bisa ngeliat arby. Aku mengangguk setuju, karena aku juga sudah sangat penasaran dengan cowok yang sekarang sedang hebohnya di bicarakan semua cewek di sekolah.
“emang si ray mau loe kemanain vi?”, vanya mencari-cari sosok ray di kelas.
“baru aja gue putusin, habisnya dia nyamperin gue terus sih ke kelas, gue kan bete ngeliat muka dia terus”, aku tidak bisa menahan tawaku mengingat alasan yang kuberikan pada ray saat aku memutuskannya. Vanya dan zeva ikut tertawa mendengar alasanku.
“bener juga alasan loe vi, gue aja bosen ngeliat dia nyamperin loe tiap menit”, ujar zeva.
“tapi loe berdua juga, bukannya kemarin zeva jadian sama denis ?vanya juga kemarin lusa jadian sama ryan kan?”, tanyaku mengingat-ingat.
“gue nggak mau dong jomblo gara-gara ngejar arby, nanti kalo arby udah mulai deket sama gue baru deh gue putusin ryan”, jawab vanya.
“gue nggak mau kalah sama kalian, masa kalian punya cowok gue nggak?”, zeva benar-benar hanya ikut-ikutan gonta-ganti cowok.
“kalo gitu sekarang kita mau nyari arby dimana?”, aku mengalihkan pembicaraan tentang arby kembali.
“gimana kalo kita cari dia di kelasnya dulu”, usul zeva.
“mumpung masih ada jam istirahat, kita ke sana sekarang aja”, vanya langsung bersemangat.
“let’s go!!”, ucapku sambil menarik tangan vanya dan zeva.
Kami mulai berjalan menyusuri kelas-kelas menuju kelas arby. Kami sempat salah masuk kelas dan kepergok tengah mencari-cari arby. Tapi seperti biasa kami hanya memasang muka tembok.
“ada apa manis?”, coky menghampiri vanya ketika di panggil. Coky salah satu dari mantan-mantan pacarnya vanya, kebetulan dia sekelas dengan arby jadi vanya hanya berpura-pura sedang mencarinya.
“nggak, aku mau ketemu aja sama kamu”, jawab vanya asal, padahal matanya tengah berkeliaran mencari-cari sosok arby. Zeva juga tengah mencari-cari arby. Mataku juga tengah memperhatikan seluruh isi kelas. Kalau ada anak yang belum pernah aku lihat di sekolah ini, itu pasti yang namanya arby.
Zeva memandangku, kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala. Pencarian gagal, arby sedang tidak ada di kelas.
“temen-temen kamu pada kemana?”, vanya memancing coky mencari berita.
“paling juga mereka lagi di kantin”
“oke, kalo gitu aku cabut ya”, vanya mengisyaratkan aku dan zeva untuk mengikutinya pergi dari kelas ini.
“jadi sekarang kita ke kantin?”, tanyaku mengetahui arah perjalanan.
“dia pasti ada di sana”, jawab vanya yakin.
Sesampainya di kantin, kami mulai memasang mata kembali. Mencari-cari sosok yang bernama arby. Kami mulai berpencar mengelilingi kantin, karena kantin sekolah kami memang cukup luas. Kami sepakat untuk memberitahu lewat sms kalau salah satu dari kami ada yang melihat arby. Tentunya aku hanya mencari-cari orang yang belum aku kenal di sekolah ini. Aku mengenal cukup banyak orang di sekolah, barang kali aku tahu mana orang yang baru aku lihat.
Lelah mencari-cari, kami kembali bertemu di bangku dekat toilet wanita. Tidak ada yang melihat sosok arby.
“gila ya, nih orang susah banget di carinya”, ucapku setelah meminum segelas air putih.
“mungkin emang belum waktunya kali loe ketemu sama dia”, jawab zeva.
“pucuk di cinta ulam pun tiba”, vanya berbicara tanpa menoleh kepada kami. Aku dan zeva mengikuti arah mata vanya. Matanya mengarah ke depan toilet pria. Tiga orang cowok tengah mengobrol, mereka baru keluar dari toilet. Aku mengenal betul 2 orang cowok diantara mereka, tapi yang satunya lagi. Aku baru pertama kali melihatnya di sini. Dan memang benar kalau dia sangat…sangat…tampan. Tapi setelah aku perhatikan terus wajahnya, kayaknya aku pernah melihatnya tapi aku lupa.
“arbyyy cakep banget sih loe”, gumam vanya dan zeva.
“iya, dia emang cakep”, aku mengakuinya, karena dia memang sangat tampan. Kalau tau arby setampan ini, aku juga nggak mau kalah memperebutkannya dengan vanya dan zeva.
“sekarang loe udah tau kan vi, kalo ketampanannya tuh bisa menyihir semua cewek yang ada di sekolah ini”, ujar zeva padaku.
“iya, kalo di suruh milih mau ke prancis sama tomi atau di kandang sapi sama arby, gue pasti milih di kandang sapi sama arby”, ucapku asal.
“kita panggil yuk”, zeva memberi saran.
“boleh”, aku menyetujui.
Kami bertiga mulai memasang wajah semanis mungkin, “ARBY”, kami mengucapkan nama arby dengan nada selembut mungkin.
Yang di panggil namanya menoleh ke arah kami. Kami bertiga melambaikan tangan dengan genit kepadanya saat dia memandang kami. Kedua temannya membalas lambaian tangan kami. Kami tetap menunggu reaksinya tapi dia hanya diam tanpa menghiraukan kami dan langsung mengalihkan pandangannya kembali kepada teman-temannya. Kemudian dia pergi begitu saja dengan menganggurkan lambaian tangan kami. Semua cowok di sekolah ini menunggu-nunggu lambaian tangan dari kami tapi apa yang dia lakukan?dia malah membiarkan lambaian tangan kami menggantung di udara.
“gila, sombong banget”, pekik zeva kesal.
“tapi nggak papa ah, yang penting kan dia tetep ganteng”, jawab vanya yang masih memandang punggung arby.
“kalian masih mau dapetin dia nggak?”, tanyaku menggoda.
“masih kok masih mau”, mereka menjawabnya langsung.


Hari berikutnya kami saling berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian dari arby. Kami mulai berdandan secantik mungkin untuk merebut hatinya arby. Di mulai dari hari ini, kami hitung hari ini sebagai HARI PERTAMA.
“eh…ada arby tuh”, aku memberi tahu vanya dan zeva ketika melihat arby yang sedang berjalan di koridor sekolah. Vanya dan zeva mulai merapihkan dandannya kemudian berdiri di sampingku. Aku juga ikut merapikan dandananku agar terlihat lebih cantik.
“ARBYYY!!!”, kami menyambut arby ketika dia berjalan melewati kami. Dengan senyum manis dan lambaian tangan dari kami. Kami memperlihatkan cara yang biasa kami gunakan untuk menarik perhatian cowok. Biasanya cowok paling suka kalo kita beri senyum semanis mungkin. Kemudian kita sebut namanya, dengan begitu dia bisa merasa lebih dekat dengan kita. Tapi tidak dengan arby, ketika kami menyebut namanya juga memberinya senyuman yang manis. Dia tidak membalas senyuman yang kami berikan, dia juga tidak melambaikan tangannya kembali, jangankan untuk berhenti dan mengobrol dengan kami. Sedikitpun dia tidak menoleh ke arah kami. Dia berlalu begitu saja, seperti tidak mendengar bahwa kami sedang memanggilnya. Mungkin dia juga tidak menganggap kami ada di sampingnya ketika dia berjalan melewati kami. Senyum yang tadi menghiasi wajah kami kini hilang. Bibir yang berbentuk kerucut mulai menggantikan senyuman kami.
“ini kedua kalinya dia nyuekin kita”, sungutku kesal.
“parah abis tuh orang, kalo gini caranya sih mendingan gue senyum sama orang gila deh masih mending orang gila masih mau ngebales senyum gue”, zeva asal bicara.
“sayang deh make up gue kalo akhirnya di cuekin gini”, vanya berbicara sambil terus bercermin dengan kaca kecil yang selalu di bawanya kemana-mana.
HARI KEDUA
Hari pertama kami sudah gagal. Kami beranggapan kalau kegagalan hari pertama kemungkinannya adalah arby belum mengenal kami. Mungkin saja dia akan lebih berbaik hati kalau sudah mengenal kami semua. Kalau sampai saat ini dia belum mengajak kami berkenalan, mungkin memang harus kami yang lebih dulu memperkenalkan diri kepadanya. Bisa saja dia memang tipe cowok yang pemalu jadi dia tidak berani untuk memperkenalkan dirinya lebih dulu. Perkenalan diri di mulai dariku.
“loe semua liat ya, gue pasti bisa kenalan sama dia”, aku berkata dengan penuh percaya diri sebelum beranjak menghampiri arby yang sedang memesan makanan di kantin.
Aku sengaja membeli jus terlebih dahulu sebelum menghampiri arby. Aku minta di buatkan jus sekarang juga tanpa mempedulikan antrian pembeli lainnya. Jus selesai di buatkan, aku mulai melakukan rencanaku. Aku mengambil posisi terdekat dengan arby, kemudian aku berpura-pura sedang terburu-buru. Dengan sengaja aku menubruk arby dan menumpahkan sedikit jusku ke baju putih arby. Aku tahu ini cara yang sudah sangat.. sangat.. sangat basi tapi biarkan saja, siapa tahu akan berhasil.
Aku berusaha untuk memasang wajah sekaget mungkin, “upss..sori”, aku mengambil tissue dari saku bajuku kemudian mengelap baju putih arby yang terkena tumpahan jusku. Arby mengelap-elap bajunya dengan tangannya sendiri.
“aduh..sorry ya, tadi gue buru-buru”, ucapku sepanik mungkin. Arby masih sibuk dengan bajunya yang sengaja kutumpahkan dengan jus. Aku menggunakan kesempatan ini untuk berkenalan dengannya. Ku raih tangannya dengan cepat, “gue livi, loe mau bajunya gue ganti?”, ucapku dengan cepat.
“nggak usah, makasih”, jawabnya datar lalu melepaskan tangannya dari genggamanku kemudian pergi begitu saja.
Vanya dan zeva hanya mentertawaiku dari jauh. Aku mengehentak-hentakkan kakiku ke lantai karena kesal pada sikap arby.
Jam istirahat kedua giliran zeva, kami mengikuti arby diam-diam sampai dia masuk ke toilet pria. Zeva tidak mau berlama-lama lagi, dia menunggu arby di dekat toilet agar nanti kalau arby keluar dari toilet dia bisa menubruknya. Cara yang dia gunakan tidak jauh beda dengan caraku. Hanya saja mungkin tubrukan dengan zeva akan lebih terasa di bandingkan denganku. Karena tubuh zeva lumayan berisi, ini karena dia lebih sering berolahraga di bandingkan aku.
“dia keluar”, bisikku kepada zeva.
Zeva mulai berjalan seperti orang ling-lung yang sedang mencari-cari sesuatu, dia memutar kepalanya ke segala penjuru. Kemudian berjalan dengan badan yang tak tentu arah. Ketika dia sudah sangat dekat dengan arby, dia sengaja menghadapkan badannya berlawanan arah dengan arby. Sampai akhirnya dia menumbruk arby dengan sempurna.
“aduh, sorry ya”, zeva menghadapkan badannya kepada arby dengan cepat.
Melihat arby yang tetap dingin dan cuek zeva kembali berbicara, “loe arby kan?kenalin, gue zeva”, awalnya arby hanya diam saja melihat tangan zeva yang terulur. Tapi kemudian zeva mengambil tangan arby dan menjabatnya. Terkesan sangat memaksa memang.
“gue ke kelas duluan ya”, arby menarik tangannya kembali lalu berbalik pergi menuju kelasnya.
Pulang sekolah ini kesempatan untuk vanya agar bisa melaksanakan rencananya.
“sekarang giliran gue”, ucap vanya semangat ketika mendekati arby.
Vanya sengaja berjalan di belakang arby kemudian dia berusaha menyamai langkah arby lalu berhenti di depan arby. Arby menghentikan langkahnya karena terhalang oleh vanya.
“nama loe arby kan?”, tanya vanya dengan serius.
“ya”, jawab arby singkat.
“emm, gue vanya”, vanya menjabat tangan arby dengan paksa. “ini, pupen loe jatuh”, vanya memberikan pulpen kepada arby yang jelas-jelas itu bukan pulpennya arby, kami tau vanya hanya mengarang saja.
Arby memperhatikan pulpen itu, “gue nggak punya pulpen kayak begini”, arby mengembalikan pulpen yang di berikan vanya.
“masa sih, tapi di sini ada namanya, A-R-B-Y”, vanya mengeja tulisan di label yang ada di pulpen itu. Ternyata vanya juga menuliskan nama arby di pulpen itu.
“vanya dodol”, bisik zeva padaku. Aku hanya menahan tawaku memperhatikan vanya. Dia memang temanku yang agak polos.
“nggak perlu gue ulang kan kalo gue nggak punya pulpen kayak gitu”, jawab arby cuek.
“ohh..mungkin punya arby yang lain kali ya”, jawab vanya kikuk. Tanpa pamitan lagi arby meninggalkan vanya.
HARI KETIGA
“kemarin gue baca majalah, katanya kalo kita suka sama cowok kita harus ngasih sinyal ke dia”, vanya memulai diskusi kami tentang rencana hari ini.
“maksud loe?”, tanya zeva bingung.
“loe ngerti kan? Jadi kita harus kasih tanda-tanda kalo kita emang suka sama dia”, jelas vanya lagi.
“tapi kita kan nggak pernah ngasih sinyal gitu ke cowok, biasanya juga cowok-cowok yang ngasih sinyal ke kita”, jawabku mengingat-ingat.
“makanya itu, sekarang kita inget-inget gimana cara cowok-cowok ngasih sinyal ke kita.nah kita tinggal ngikutin apa yang mereka lakukan aja, gampang kan?”, jelas vanya panjang lebar.
“dulu, vian pernah nawarin diri buat ngerjain semua tugas-tugas gue. Itu namanya ngasih sinyal kan?”, zeva mulai mengingat kebaikan-kebaikan mantannya.
“brian pernah ngasih jaketnya ke gue waktu gue bilang suka sama jaketnya”, vanya tersenyum-senyum mengingatnya.
“aga bawain tas gue karena isinya berat banget”, aku mencoba mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu.
Dengan bodohnya kami mengikuti saran vanya untuk memberi sinyal kepada arby. Kami mulai melaksanakan semua hal yang pernah di lakukan mantan-mantan kami sebelumnya. Zeva jadi harus mengerjakan semua tugas arby yang menumpuk, apalagi tugasnya lebih banyak dari teman-temannya karena dia harus mengejar semua pelajaran yang tertinggal. Vanya memberikan barang-barang yang dia miliki. Sebenarnya arby nggak pernah bilang suka dengan barang yang dimiliki vanya tapi vanya selalu bertanya, “punyaku bagus nggak?”, dan arby hanya mengangguk menjawabnya, mungkin dia hanya menghargai vanya. Akhirnya vanya memberikan barangnya itu pada arby. Aku sendiri hanya membawakan tasnya yang lumayan berat juga. Arby sempat menolak untuk aku bawakan tapi aku memaksanya. Saat aku hampir jatuh karena keberatan membawa tasnya dia langsung membentakku, “GUE KAN UDAH BILANG KALO TAS GUE BERAT”, dengan segera dia mengambil tasnya yang ku bawakan, “gue bisa bawa sendiri”, kali ini suaranya lebih lembut dari yang sebelumnya.
Sejak saat itu aku mulai kesal dengan cowok yang bernama ARBY!!aku nggak akan pernah lagi berusaha untuk mendapatkannya apalagi untuk berbaik hati dengannya. Image nya sudah sangat buruk dimataku, dia benar-benar menyebalkan.titik. tidak hanya aku, vanya dan zeva juga sudah tidak berniat untuk mendapatkannya lagi. Mereka sudah kapok karena capek berusaha namun tidak ada hasilnya. Dalam otak kami bertiga kini cowok yang bernama arby itu hanya makhluk tampan yang nggak berhak mendapat perhatian dari cewek manapun.


bersambung...

Tidak ada komentar: