Sabtu, 11 Februari 2012

Miss Lollipop (part three. new neighbor)

“vi, kayaknya loe musti hati-hati deh”, zeva berbicara dengan serius.
“hati-hati kenapa?”, jawabku santai.
“prestasi loe bakal terancam”, jawab zeva dengan suara yang terkesan mendramatisir.
“terancam bagaimana maksud loe?”
“iya, soalnya gue denger-denger si arby itu otaknya encer banget, dia pernah menang olimpiade fisika 3 kali dan 2 kali olimpiade matematika”
“tau dari mana loe?”, aku masih menanggapi perkataan zeva dengan santai, tidak percaya dengan apa yang di katakannya.
“dari gosip-gosip yang beredar”, selalu saja mendengar dari sebuah gosip.
“alah.. paling juga gosip murahan, gue nggak percaya tuh cowok belagu kayak gitu mana mungkin secerdas itu. Dengerin gue ya, tipe cowok kayak dia itu kerjaannya paling cuma mejeng di mall, nongkrong nggak jelas, foya-foya, loe kayak nggak tau anak gaul jaman sekarang aja. Kalo dia pemenang lomba model sih gue baru percaya”, aku berbicara panjang lebar tetang pendapatku mengenai arby.
“kalo dia pemenang model sih gue juga percaya banget”, vanya ikut berkomentar.
“yah tapi kan seenggaknya loe hati-hati aja sama dia”, zeva memperingatkan.
“yang di omongin panjang umur tuh”, vanya melirik ke arah arby dan teman-temannya yang baru saja memasuki kantin. Arby memegang sebuah botol air putih. Pandangan mataku tidak pernah lepas memperhatikannya. Rasanya aku pernah melihatnya sebelum dia masuk ke sekolah ini, tapi entah dimana. Melihatnya memegang sebuah botol air putih, mengingatkanku pada suatu kejadian. Ya, aku mengingatnya sekarang. Tentu saja aku pernah melihatnya, dia yang telah menolongku di halte dari bapak-bapak yang sedang mabuk. Dia yang waktu itu aku sebut-sebut sebagai pangeran tampan. Tapi dia berbeda dengan yang pernah aku temui di halte. Waktu itu dia lebih ramah, lebih baik hati dan dia juga memberikan senyumnya dengan percuma kepadaku. Berbeda sekali dengan yang sekarang, dia lebih menyebalkan rasanya aku cukup menyesal pernah berangan - angan ingin bertemu dengannya lagi. Ternyata dia bukan pangeran tampan yang selama ini aku bayangkan.
“dia beda banget”, gumamku pelan.
“beda apanya coba?dia masih menyebalkan seperti biasanya”, ternyata vanya mendengar gumamanku.
“oh..nggak”, kemudian aku melayangkan jari telunjukku ke udara, “loe harus tau”, sejenak aku terdiam, sengaja menunggu reaksi dari kedua temanku.
Ketika aku rasa kedua temanku sudah benar-benar merasa penasaran aku melanjutkan pembicaraanku, “arby pernah nolongin gue sewaktu gue di ganggu orang di halte”
Zeva dan vanya tampak serius mendengarkanku, “masa sih?loe salah orang kali, mungkin aja dia cuma mirip”, zeva menyanggah perkataanku.
Aku menggeleng-geleng dengan cepat, “gue nggak salah orang kok, gue yakin banget kalo orang itu emang arby”, aku tetap yakin pada apa yang kuingat.
“coba deh loe inget-inget lagi, kali aja bukan”
“suer deh, gue nggak mungkin salah soalnya gue sempet ngenalin diri tapi sayangnya dia nggak keburu ngenalin dirinya ke gue”
“sebentar-sebentar..tadi loe bilang dia beda?”, vanya yang tadi mendengar gumamanku meminta penjelasan.
“iya, soalnya waktu gue ketemu di halte dia nggak pelit sama senyumnya, dia juga baik banget”, jawabku dengan jujur.
“tuh kan, pasti itu bukan dia. Nggak mungkin kan dia sebaik itu?”, zeva semakin tidak percaya.
“iya, bener kata zeva. Pasti loe salah orang”, vanya membenarkan ucapan zeva.
“terserah kalian deh, tapi gue yakin kalo itu pasti arby”
Saat aku menyerah dengan perdebatan ini, tiba-tiba robi datang menghampiriku.
“sayang, aku boleh gabung nggak?”, dia mengusap punggungku kemudian duduk di sebelahku setelah aku memberinya anggukan kecil.
Dari tempat dudukku, aku bisa melihat arby dan teman-temannya yang juga sedang berbincang-bincang dengan asyiknya. Sampai ketika robi menghampiriku, aku bisa melihat pandangan arby menuju ke arah dimana aku dan teman-temanku sedang duduk. Aku tidak tahu dia sedang melihat apa atau siapa, tapi yang jelas ke arah tempat duduk kami, entah dia melihat tempat duduk di belakang kami atau apalah, aku tidak tahu. Yang pasti tatapannya tidak terlihat ramah, seperti tatapan tidak suka.

 
Aku tetap harus bangun pagi walaupun sekarang hari minggu. Aku mengganti baju tidurku dengan pakaian joggingku. Aku tidak akan pernah meninggalkan kegiatan lari pagiku terkecuali jika aku sakit. Aku mengambil handuk kecilku lalu menaruhnya di bahuku. Setelah selesai mengikat tali sepatu, aku mulai berlari-lari kecil meninggalkan rumah. Aku mulai dengan sedikit pemanasan sebelum aku benar-benar harus mengelilingi kompleks perumahan yang cukup luas ini. Aku menemukan beberapa orang yang juga sedang berlari pagi. Walaupun hanya sedikit sekali tapi ini cukup baik karena biasanya hanya aku yang berlari pagi.
“livi”, seseorang memanggilku dari belakang.
Aku langsung menoleh dengan cepat, ternyata elis. Dia salah satu teman yang kukenal di perumahan ini. Rumahnya berbeda 2 blok denganku, dia gadis yang sangat ramah. Bahkan dia selalu mengundangku kalau mempunyai sebuah acara. Tidak biasanya dia berlari pagi karena setahuku dia lebih suka fitness di langgar miliknya, aku memandangnya dengan heran, “nggak biasanya loe lari pagi”
“iya nih, gue lagi pengen aja. Hehehe”, dia langsung nyengir kuda. Aku melanjutkan lariku, elis mengikutiku.
“gimana kabar gebetan loe yang terakhir?”, aku berbasa-basi menanyakan masalah cowok yang di sukainya yang pernah dia ceritakan kepadaku.
“sekarang gue udah jadian sama dia, berkat saran-saran loe waktu itu. Sekarang gue tau kenapa loe bisa gonta-ganti cowok 3 kali seminggu”, dia tertawa terbahak-bahak. Aku memang memberinya saran tentang cara mendekati cowok, tapi sepertinya saran yang ku berikan padanya tidak cukup manjur untukku dan kedua temanku untuk mendekati arby. Elis memang cukup tahu kalau aku sangat sering bergonta-ganti cowok.
“bagus deh kalau loe udah jadian sama dia, gue ikut senang”
“eh vi, tadi gue ketemu tetangga baru loe”
“tetangga baru gue?”
“iya, dia juga lagi lari pagi, dia ganteng banget .eh gue duluan ya vi”, elis tidak melanjutkan ceritanya karena dia harus berbelok menuju blok rumahnya. Dia melambaikan tangannya kepadaku sebelum pergi. Aku kembali melanjutkan lariku, sudah lebih dari setengah putaran kompleks aku berlari. Masih satu blok lagi yang harus aku lewati sebelum aku sampai di rumah tapi aku sudah sangat lelah, biasanya aku berhenti 3 kali saat berlari tapi dari tadi aku belum berhenti sama sekali. Aku berhenti di pinggir taman kecil yang ada di perumahan ini, napasku tersenggal-senggal. Aku haus sekali, kurogoh saku celanaku. Tidak ada air. Ya ampun, aku lupa membawanya. Padahal aku sudah menyiapkannya di meja makan tapi aku lupa mengambilnya. Aku memegang lututku yang sudah sangat kelelahan sambil menundukkan kepalaku. Mencoba mengatur kembali napasku. Keringat keluar sangat banyak di tubuhku. sekarang aku benar-benar haus.
Tiba-tiba sebotol air minum berada di hadapanku. Seseorang dengan baik hati menyodorkannya untukku. dengan cepat aku mendongakkan kepalaku untuk melihat pemilik tangan yang menyodorkan botol air minum ini. Aku sangat..sangat..sangat..terkejut melihat siapa yang sekarang berada di hadapanku. Bagaimana mungkin dia bisa ada di sini?
“arby!!!”, aku menatapnya dengan heran.
“mau minum nggak?”, dia berkata dengan santai tanpa memandangku.
“loe ngapain di sini?”, aku melupakan rasa hausku dan mulai mengintrogasinya.
“ini minum”, dia mengabaikan pertanyaanku dengan kembali menyodorkan botol air minumnya tapi kali ini seperti memaksa. Aku jadi teringat kembali dengan rasa hausku ketika melihat air di dalam botol itu. Aku tidak bertanya-tanya lagi, segera saja aku ambil botol air minum dari tangannya dan meneguk habis setengahnya. Kalau saja aku lupa dia cowok yang paling menyebalkan mungkin aku sudah meneguk habis semua air ini. Aku benar-benar sangat haus.
“minum aja semuanya kalo loe haus”, arby berkata seakan tahu apa yang ada di pikiranku, atau mungkin cara aku minum memang kelihatan seperti orang yang sangat kehausan? Aku diam sejenak, tidak yakin dengan apa yang di katakannya.
“gue nggak haus jadi nggak papa kalo loe mau abisin”, tanpa menunggunya berkata lebih banyak, aku langsung menenggak habis air minumnya. Aku tidak peduli dia sudah minum atau belum, dia haus atau tidak yang penting rasa hausku sudah hilang sekarang. Aku mengembalikan kembali botol minumnya.
“makasih”, ucapku malas. Dia tidak menjawab ucapan terima kasihku. Tanpa berbasa-basi padaku lagi, dia langsung melanjutkan larinya. Aku ikut berlari di belakangnya karena dia berlari ke arah yang sama dengan arah rumahku. Aku ingin sekali menanyakan padanya tentang kejadian di halte itu, untuk memastikan benar atau tidak kalau dia yang menolongku saat itu.
Aku mencoba menyamakan posisiku dengannya. Dengan mengumpulkan seluruh keberanianku, “kayaknya gue pernah liat loe di halte deh”, aku bertanya dengan penuh hati-hati. Tidak ada renspons darinya, dia tetap diam tanpa menoleh kepadaku.
“waktu itu loe nolongin gue kan?”, aku mencoba mengingatkannya lagi. Dia tetap diam. “gue inget banget kejadiannya dan gue yakin banget kalo itu loe, iya kan?”, aku berusaha untuk tidak mempedulikan kediamannya.
“mungkin”, ternyata dia menjawabnya setelah lama diam.
Aku tidak berniat lagi untuk bertanya-tanya dengannya. Aku memelankan lariku agar berada di belakangnya kembali. Sesampainya di depan rumah baru di samping rumahku dia berbelok masuk ke dalamnya. WHAT??. Jadi ternyata dia yang selama ini di sebut-sebut tetangga baruku?ada apa ini?kenapa harus dia yang menjadi tetangga baruku?apa tidak ada orang yang lebih baik dari dia yang bisa menjadi tetanggaku?

 
“APAAA??”, vanya dan zeva terbelalak mendengar berita tentang tetangga baruku. Aku sengaja memaksa mereka untuk datang kerumahku hanya untuk mendengarkan celotehanku.
“gue bingung, ada banyak orang di kota ini tapi kenapa harus dia yang jadi tetangga gue?”, aku kembali menjilat-jilat lollipopku.
“gila ya, kok bisa kebetulan gitu”, zeva berkata sambil berpikir-pikir.
“gue sih nggak bakalan mau tetanggaan sama dia”, vanya menyambung.
Aku berhenti menjilat lollipopku, “padahal gue maunya punya tetangga yang asyik, yang bisa gue jadiin temen ngobrol. Kalo kayak dia sih mana bisa gue ajak ngobrol, yang ada ilang semua apa yang pengen gue obrolin kalo ngeliat muka dia”, curhatku dengan kesal.
“sabar ya viii”, kedua sobatku ini berkata berbarengan.
“kayaknya gue emang harus tahan punya tetangga kayak dia”
“gue udah di jemput nih sama doni”, zeva berkata setelah menerima sebuah sms. Dia baru kemarin jadian dengan doni.
“sebenernya gue juga udah di tungguin sama efan dari tadi vi, gue juga mau cabut sekarang ya”, vanya ikut berpamitan padaku.
“rese loe berdua, nggak bisa diem di sini barang sejam, baru juga setengah jam kalian disini”, aku cemberut sambil mengemut-emut lollipopku.
“kita kan bisa kesini kapan aja”
“iya bisa ke sini kapan aja sampe-sampe nggak pernah dateng kalo nggak gue paksa”, cibirku dengan kesal pada kedua sahabatku ini.
“gue saranin ya, dari pada loe sendirian di rumah mending juga loe jalan sama si robi, loe belum putusin dia kan?”, vanya memberi saran.
“belum gue putusin kok”
“yaudah sini”, zeva mengambil handphoneku dengan paksa, “biar gue yang sms robi buat jemput loe di sini”
Aku membiarkan zeva mengetik sms untuk robi sementara aku masih sibuk menjilat-jilat lollipopku. Memang, tidak ada yang lebih asyik dari pada menjilat-jilat lollipop.
Belum sampai 3 menit zeva sudah menyodorkan handphoneku, “robi nelpon nih”, aku melepaskan lollipop dari mulutku.
“kamu mau jalan kemana?”, suara robi terdengar di ujung telepon.
“terserah kamu”
“kalo gitu kamu siap-siap aja sebentar lagi aku jemput”
“oke, aku tunggu”, tidak menunggu jawaban dari robi aku langsung mematikan telepon.
“selesai kan? Kalo gitu kita pergi sekarang oke?”
“yaaa”, aku menjawabnya dengan malas. Kemudian zeva dan vanya lenyap dari rumahku.
Aku mencabut lollipopku yang tinggal sedikit dari batangnya kemudian mengemutnya dalam mulutku. Aku memilih-milih pakaian yang sesuai untuk aku kenakan hari ini. Setelah menemukan pakaian yang cocok, aku mengganti pakaian yang kupakai dengan yang sudah aku pilih. Dengan cepat aku mengganti pakaianku, kemudian aku beralih ke meja rias di kamarku. aku mengoleskan sedikit make up di wajahku. Terakhir aku memoleskan lip gloss ke bibirku, selesai mengenakan lip gloss aku memasang kalung yang cocok dengan baju yang aku kenakan di leherku.
Sebuah sms masuk ketika aku mengambil tas yang akan aku kenakan. Sms dari robi, ternyata dia sudah berada di depan rumahku. Aku cepat-cepat memakai sepatu sandalku lalu kelar dari rumah. Robi sudah menungguku di dalam mobilnya. Dia keluar dari mobilnya ketika aku menutup pintu rumah. Kemudian dia membukakan pintu mobil untukku. sebelum aku masuk ke dalam mobil, aku sempat melihat arby di depan gerbang rumahnya.
“kita mau kemana?”, tanyaku tanpa memandang robi.
“kamu mau kan nemenin aku cari sepatu?”
“terserah kamu”
Aku memasang jurus diamku selama perjalanan. Sesampainya kami di sebuah mall, robi langsung mengajakku mecari-cari sepatu. Aku hanya mengikutinya berkeliling mencari-cari sepatu, terkadang aku memberi komentar saat dia menanyakan sepatu yang di pilihnya.
“robi”, tiba-tiba seorang gadis seumuran dengan kami memanggil robi.
“ehh kamu sif”
“kamu apa kabar?”, gadis itu menghampiri robi kemudian memeluknya.
“wah, aku baik-baik aja”, robi mulai mengobrol akrab dengan cewek itu, aku di abaikan begitu saja olehnya.
“aku lapar”, aku yang sejak tadi hanya berdiam diri duduk manis di bangku, berdiri menyenggol robi. Cewek itu memperhatikanku dengan mata curiga. Mungkin dia mengira robi hanya pergi sendiri.
“aku hampir lupa, kenalin ini livi cewekku, livi ini sifa temanku”, robi bermaksud mengenalkanku pada temannya itu tapi aku mengabaikannya dengan pergi begitu saja mencari tempat makan, aku tidak peduli robi mengikutiku atau tidak. Tapi ternyata dia mengikutiku, di kepalaku sudah terekam kata-kata untuk memutuskannya.
“livi, tunggu”, robi memanggilku. Aku sama sekali tidak menoleh kepadanya tapi dia terus saja memanggil-manggil namaku. Akhirnya aku menghentikan langkahku untuk menunggunya menghampiriku.
“ngapain sih loe ngikutin gue”, aku langsung menyodorkan sindiran untuknya.
“kamu kenapa sih?sifa itu kan teman aku”, robi berusaha menjelaskan.
“terserah deh mau temen atau apa tapi yang jelas gue nggak suka di cuekin”, aku menekankan kata-kata terakhir yang kuucapkan.
“kalo kamu ngerasa di cuekin aku minta maaf deh”
“apa loe bilang? Jadi maksudnya loe nggak ngerasa nyuekin gue gitu?kita putus”, aku kembali meninggalkan robi.
“jangan putus dong, aku anter kamu pulang ya?”, robi kembali mengejarku.
“loe pulang aja sendiri, udah deh jangan ngikutin gue terus”, aku membentaknya dengan keras. Kemudian kembali meninggalkannya, tapi kali ini dia tidak mengikutiku lagi.
Aku terpaksa harus menunggu sopir menjemputku di depan mall. Ketika aku sudah mulai bosan menunggu, tiba-tiba seorang pengamen menghampiriku dan bernyanyi. Awalnya aku mau mengusir pengamen itu, tapi berhubung aku bosan jadi aku biarkan saja dia bernyanyi. Setelah menyanyikan sebuah lagu, aku memberikan uang kepada pengamen tersebut.
“saya udah di bayar kok”, jawabnya ketika menolak uang yang kuberikan.
“udah di bayar?”, tanyaku bingung, padahal aku baru mau membayarnya. Apa aku lupa bahwa aku sudah membayarnya sebelumnya?
“saya udah di bayar menyanyi buat kakak dan memberikan ini”, pengamen itu memberikanku sebuah lollipop. aku sangat terkejut ketika pengamen itu memberikanku sebuah lollipop. karena terkejut, aku jadi melupakan pengamen itu, ternyata dia sudah berjalan meninggalkanku. Aku memanggil pengamen itu tapi dia sudah terlalu jauh untuk mendengar teriakanku. Rasanya tidak mungkin ada orang yang tahu kalau aku menyukai lollipop, hanya teman-temanku dan tante Belinda tentunya. Lalu, bagaimana mungkin ada seseorang yang mengetahuinya. Aku memandangi lollipop yang kini ada di tanganku. Aku segera saja memasukkannya ke dalam tas. Pengamen yang tadi menghiburkupun sudah lenyap entah kemana saat mataku mencarinya.


bersambung...

Tidak ada komentar: