Sabtu, 11 Februari 2012

Miss Lollipop (part one. miss lollipop)


“balonku ada lima…”, suara cempreng seorang anak kecil berumur sekitar lima tahun terdengar sangat nyaring di antara suara bising lainnya. Bagaimana tidak terdengar di telingaku kalau anak kecil ini bernyanyi di sampingku, mencoba menghibur semua orang yang ada di halte ini.
Mataku tidak lepas dari bocah kecil yang sedang bernyanyi itu. Kemana orang tuanya?manusia macam apa yang tega melepaskan anak sekecil ini di jalanan. Iba aku melihatnya mencari uang sendiri. “makasih kak”, puas sekali melihat senyumnya setelah aku menyodorkan selembar uang seribuan. Bocah kecil itu beranjak dari hadapanku dengan harapan akan ada yang memberinya uang selain diriku. Malangnya bocah itu ketika seorang lelaki separuh baya mendorongnya sampai tersungkur. Serempak semua orang yang ada di halte menatap marah pada lelaki separuh baya yang mendorongnya.
“bapak kalo nggak mau ngasih uang jangan di dorong segala”, bentakku sambil membangunkan bocah kecil itu.
“kenapa? Ada masalah ?”, lelaki setengah baya itu berjalan dengan langkahnya yang tidak seimbang. Dari caranya berjalannya aku menyadari kalau lelaki itu sedang mabuk. Aku merasa sangat bodoh dengan membentak lelaki itu. Semua orang yang tadi ikut membantuku membela anak kecil ini kini mundur perlahan-lahan.
“berani kali kau melawanku”, lelaki itu berbicara dengan logat medan yang kental. Aku tidak berani lagi untuk membentaknya, nyaliku ciut seketika. Aku tidak ingin menimbulkan amarah lelaki ini, orang yang sedang mabuk biasanya akan melakukan apapun di luar kendalinya. Sementara lelaki itu semakin berani mendekat ke arahku, di saat itu juga aku mematung. Aku tidak ingin melakukan hal yang bodoh, lari misalnya. Aku tidak bisa membayangkan kalau lelaki ini akan mengejarku kalau aku sampai lari, oleh karena itu aku lebih memilih diam di tempat. Tangannya mulai mengepal dan siap-siap untuk melayangkannya ke udara, mengarahkannya kepadaku. Seketika itu juga aku merapatkan tanganku ke mukaku, mencoba melindunginya dari hantaman yang mungkin akan ku terima.
Satu menit berlalu, dua menit aku menunggu. Tidak terjadi sesuatu denganku. Ku regangkan jari-jari tanganku, mencoba mengintip dari celahnya. Lelaki setengah baya itu tengah di pukuli oleh seorang cowok, kuturunkan tanganku perlahan-lahan, mataku tidak bisa berkedip melihat wajah cowok itu. Dia begitu manis, cute dan juga cool. Oh my god!!! Mimpi apa gue semalem bisa ketemu sama cowok setampan dia dan juga baik hati tentunya, buktinya aja dia mau nolongin gue.
Dia seperti pangeran yang datang tiba-tiba untuk menolong sang putri. Dia pangeran gue, pujiku dalam hati. Pangeran itu hanya mendaratkan tinjunya tiga kali di muka dan perut lelaki setengah baya itu. Ide yang bagus, orang yang mabuk memang harus di siram oleh air. Aku tertawa dalam hati menyaksikan pangeran tampan menyiram lelaki setengah baya itu.
Tidak ingin melewatkan kesempatan, aku menghampiri pangeran tampan itu, “makasih ya”. Aku menunjukkan senyum termanisku untuknya. Beruntungnya aku hari ini, pangeran tampan itu membalas senyumku. senyuman yang sangat ..sangat..sangat manis dan wow matanya indah banget. “lain kali hati-hati”, tidak kusangka suaranya merdu banget. Gue mimpi nggak sih ketemu cowok se-perfect dia. Mungkin gue orang paling beruntung sedunia hari ini karena telah bertemu cowok setampan dia.
“gue livi”, tidak menunggu lama, aku memperkenalkan diri, menyodorkan tanganku.
“nama yang cantik”, dia menjabat tanganku, tangan terhangat yang pernah aku jabat. Dia bilang apa ?nama gue cantik?nggak salah sih, banyak orang yang bilang nama dan wajah gue emang cantik. Hahaha. Gue jadi narsis sendiri. Tapi aku tidak pernah sesenang ini jika ada orang yang mengatakan hal yang sama.
“gue…”, belum sempat dia menyebutkan namanya, bunyi klakson-klakson mobil dari jalan besar membuatnya melepas tangannya bahkan tanpa kusadari. Dia berlalu begitu saja dan melupakanku. Dia masuk ke dalam sebuah mobil, ternyata mobilnya menghambat jalannya mobil-mobil yang lain. Aku di tinggal pergi oleh sang pangeran, dia bahkan tidak berpamitan denganku. Dia juga belum sampai menyebutkan namanya, tapi karena senangnya aku melupakan kalau dia mengabaikanku, aku sudah cukup senang bisa bertemu dengannya.
“kamu kenapa senyum-senyum sendiri?”, selidik vito yang sejak aku masuk ke dalam mobilnya tidak ku ajak berbicara sedikitpun. Aku bahkan tidak sadar kalau aku tengah tersenyum-senyum sendiri karena masih membayangkan sang pangeran. Bahkan aku membayangkan bagaimana dia menolongku, meninju lelaki tadi dengan slow motion.
“udah deh kamu jangan banyak tanya”, bentakku yang berhasil membuatnya kembali terdiam selama perjalanan.
Vito keluar dari mobilnya dengan terburu-buru untuk segera membukakan pintu mobil untukku. Kami sudah sampai di depan rumahku. Tepat di saat vito membukakan pintu mobil, aku mendorong pintu mobilnya dengan kasar. Aku sengaja mendorongnya agar mengenai vito. Aku keluar dari mobil dengan wajah sedatar mungkin.
“kamu marah?”, tanya vito dengan hati-hati. Aku menghentikan langkahku saat itu juga, vito ikut menghentikan langkahnya. Memandangku dengan wajah berharap-harap cemas.
“kamu telat jemput aku, kamu juga satu-satunya cowok yang buat aku harus nunggu di halte jalan raya. Kamu tau kan kalo aku nggak pernah nunggu di tempat kayak gitu”, aku berbicara dengan nada yang sangat datar.
“maafin aku ya liv”, wajahnya mulai memelas.
“aku maafin kok, makasih ya tumpangannya”, senyumku mengembang untuknya, “maafin aku juga ya kalo hari ini kita putus”, aku mengucapkan kata putus dengan intonasi yang tinggi. Aku mengusap wajahnya sekejap sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Dia sempat memohon-mohon agar aku tidak memutuskannya. Aku tidak mempedulikan permohonannya, berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi kepadanya.

 
“livi sayaaang…kemarin kamu ‘mutusin’ vito ya?”, suara nyaring zeva menyambutku ketika aku memasuki kelas.
“wow..ternyata udah jadi berita terhangat ya?”
“gila ya temen kita yang satu ini, baru seminggu udah berhasil matahin hati 3 cowok”, vanya ikut menyahut dengan suara tawanya yang khas.
“itu sih belum seberapa”, aku berkata dengan bangga. Sudah menjadi tradisi kami bertiga untuk mencoba menjadi yang terbaik untuk memecahkan rekor pacar terbanyak. Kami memang termasuk cewek-cewek yang paling di ‘minati’ oleh seluruh cowok yang ada di sekolah ini. Selain kami bertiga memang cantik, setidaknya semua orang bilang begitu, selain itu kami juga tidak bisa di bilang cewek biasa saja. Orang tua kami termasuk donor terbesar di sekolah kami, namanya juga sudah tidak asing lagi didengar oleh semua orang. Apalagi orang tuaku adalah pemilik sekolah yang aku tempati ini. Tapi bukan hanya itu yang membuatku dan juga teman-temanku terkenal di sekolah ini, kami juga tidak bisa di bilang cewek yang hanya menang cantik tapi kami juga memiliki bakat masing-masing. Aku lebih menonjol di bidang akademik, zeva lebih berbakat di bidang olahraga, vanya lain lagi dia lebih terasah di bidang tarik suara.
“jadi kenapa loe ‘mutusin’ vito?”, vanya mulai mengintrogasiku dengan berbagai pertanyaan yang selalu diajukan setiap kali aku memutuskan pacar-pacarku.
“kalian bisa bayangin nggak sih gue di suruh nunggu di halte jalan raya?”
“hah? Loe nggak bercanda vi?”, zeva hampir mengeluarkan bola matanya setelah mendengar pernyataanku.
“gue nggak bercanda honey”, aku mencubit pipi zeva dengan gemas.
“gila ya tuh si vito, dia nggak tau apa siapa livi kita yang satu ini?”, vanya ikut menambahkan.
“udah deh nggak usah ngebahas vito lagi, loe berdua gimana? Minggu ini zeva sama rival, vanya sama coky? Loe berdua masih sama mereka atau …?”, vanya dan zeva mulai tersenyum usil, oleh karena itu aku sengaja tidak melanjutkan perkataanku.
Mereka berhenti tersenyum, “kita juga nggak mau kalah sama loe vi”, vanya menggoyang-goyangkan jari telunjuknya ke arahku.
“tapi kalian harus hati-hati, soalnya gue udah punya….”, aku mulai mencoba menghitung dengan jari-jari tanganku tanpa bersuara, “SEPULUH MANGSA”, pekikku senang.
“jangan senang dulu loe vi, kali aja sepuluh mangsa loe sekarang udah pada kabur”, zeva masih tidak mau kalah. Vanya mengiyakan perkataan zeva dengan mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“curang loe ya berdua, jadi sekarang kalian sekelompok sedangkan gue sendiri?hah?”, aku membelalakkan kedua mataku dengan kedua tanganku berkacak pinggang.
“sayaaaang, kita kan bestfriend mana mungkin kita ninggalin loe, lagian loe juga sih selaluuuu menang kalo udah masalah cowok”, mulut zeva memang berbicara tapi tangannya mendarat di pipiku, memberiku sebuah cubitan diikuti oleh tangan vanya. Aku mulai melebarkan bibirku, tadi aku hanya berpura-pura.
“aduhh, mana gue tau sih kenapa tuh cowok-cowok pada nempel semua sama gue”, aku mulai tertawa mendengar ucapanku sendiri.
“gimana cowok-cowok nggak nempel sama loe, loe kan manis kayak gula”, vanya kembali mencubit pipiku dengan kedua tangannya.
“gimana nggak manis coba, namanya juga ‘miss lollipop’”, zeva memelankan suaranya ketika menyebut miss lollipop.
“sssstttttttt”, aku menyuruh zeva untuk diam. Aku memang menyukai lollipop, bahkan sangat menyukainya. Dimanapun dan kapanpun aku berada, lollipop tidak pernah terlupakan dia selalu ada di dalam tasku. Bagiku lollipop mempunyai makna yang sangat..sangat berarti. Lollipop juga yang membuat hidupku selalu manis. Tapi kalian semua harus diam, maksudku jangan pernah bilang siapapun kalau aku sangat menyukai lollipop. Hanya kedua sahabatku ini yang tahu kalau aku sangat menyukai lollipop. Bagaimana mungkin gadis sepertiku ini sangat menyukai lollipop, seperti anak kecil saja. Aku nggak mau kalau orang lain tahu tentang hal ini, mau di taruh dimana mukaku?padahal di sekolah ini aku mendapat predikat ‘miss jutek’ dari semua cowok walaupun mereka masih dengan sesuka hati menginginkanku sebagai pacar. Menurutku akan sangat tidak lucu kalau miss jutek yang mereka kenal selama ini ternyata mempunyai kesukaan seperti anak kecil. Mengemut-emut atau lebih tepatnya aku lebih suka menjilat-jilat lollipop. Bisa-bisa semua orang yang ada di sekolah ini tidak henti-hentinya mentertawakanku. Sebulan yang lalu saja Vina, cewek super gaul di sekolah ini menjadi bahan tertawaan semua orang di sekolah hanya karena dia masih suka minum susu dan dia ketahuan membawa susu putih di tasnya. Kalian memang nggak akan pernah mengerti apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan seseorang di sekolah ini. Mereka semua menganggap dirinya sudah dewasa sehingga selalu mentertawakan hal-hal yang berbau anak kecil.
“livi..”, suara seorang cowok membuat kami bertiga menoleh ke arah pintu kelas. Ray sudah menyunggingkan senyumnya untukku.
Semboyan andalan kami yang terakhir kali di ucapkan untukku tiga hari yang lalu sewaktu aku memutuskan edo dan jadian dengan vito, “MATI SATU TUMBUH SERIBU”, sekarang kembali di ucapkan untukku. zeva dan vanya tertawa-tawa setelah mengucapkannya dengan serempak. aku mengedipkan mata genit kepada mereka berdua kemudian menghampiri ray di pintu kelas. 
 
Aku terengah-engah setelah berlari memutari kompleks perumahanku selama dua jam. Kegiatan rutinku setiap akhir pekan, rutinitas yang tidak akan pernah aku tinggalkan. Aku harus tetap menjaga berat badanku agar tidak mengganggu penampilanku, aku memilih jogging karena hanya olahraga ini yang aku bisa.hahaha. aku memang tidak mempunyai bakat apapun di bidang olahraga. Aku berhenti sebentar untuk mengatur napasku yang terengah-engah. Di depan sebuah bangunan yang baru selesai di bangun, tepatnya di samping rumahku. Bangunan rumah ini cukup besar, dan sepertinya bangunan rumah ini sudah layak untuk di tempati. Aku jadi penasaran orang seperti apa yang nantinya akan menjadi tetanggaku.
“liviiiiii”, teriakan vanya membuatku kaget setengah mati. Dia hanya tersenyum-senyum sambil melambaikan tangan ke arahku.
“ada maksud dan tujuan apa nih loe dateng kesini?”, aku mencoba menyelidiki sesuatu di balik senyum manis vanya. Dia dan zeva memang tidak pernah punya waktu untuk berkunjung ke rumahku. Mereka lebih senang menghabiskan waktu di mall, café, dan tempat-tempat anak muda lainnya dari pada harus berdiam diri di rumah orang lain. Aku tahu pasti kalau dia punya maksud tertentu kalau datang ke sini.
“jangan gitu dong...gue kangen aja sama rumah loe…”, kalimat terakhir di ucapkannya dengan intonasi yang belum sempurna.
“terus?”
“terus…sekalian mau ngajak loe ke mall nyari tas-tas lucu”, senyum manisnya mencoba untuk merayuku.
“loe kan baru beli tas minggu kemarin honey”
“iya, tapi gue butuh tas baru buat nge-date sama gara”
“hmmm….gimana ya?”, aku berpura-pura berfikir.
“ayo lah cinta, temenin gue ya, ya viii”, vanya mulai merengek-rengek padaku. aku memang sangat suka menjahili vanya seperti ini. Seperti biasanya aku menahan tawaku melihat ekspresi wajah vanya saat mulai merengek-rengek.
“ada tawaran menariknya nggak nih?”
“gue beliin 5 lollipop yang gede buat loe”, vanya menunjukkan kelima jarinya di depan wajahku.
“gue mau”, pekikku girang. Sebenarnya aku tidak bermaksud untung meminta iming-iming tertentu hanya untuk menemani vanya membeli tas tapi kalau di tawarkan kenapa tidak.
“mau minum apa?”
“apa aja deh yang dingin”, jawab vanya sambil melemparkan tasnya di atas kasurku. Dia mulai merebahkan tubuhnya di kasur ketika aku keluar dari kamar untuk mengambilkan minum.
“ada tamu ya vi”, suara tante Belinda mengagetkanku.
“eh..tante kapan dateng?”, aku mencoba mengingat-ingat terakhir kali dia dateng ke sini membawakanku sebuah tas dari paris. Hari ini dia membawakan apa lagi untukku.
“tante nungguin kamu dari sejam yang lalu, tante beliin kamu jam tangan dari swiss”, tidak salah lagi, tante pasti membawakan sesuatu untukku setiap kali dia datang ke sini. Tante Belinda memang sangat menyayangiku seperti anaknya sendiri. Dia selalu menyempatkan datang untuk mengunjungiku setiap bulan di tengah kesibukannya.
“wow!!makasih tante”, aku memeluk tante Belinda saking senangnya.
“jamnya tante udah taruh di lemari kamu”
“tante nginep di sini ya?”, pintaku penuh harap.
“tante masih ada urusan sayaaang”, wajahnya terlihat sangat menyesal karena sudah mengecewakanku, “ada tetangga baru ya?”, tante Belinda mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku mengangkat kedua bahuku dengan lemas.
“tante dengar rumah di samping udah di tempatin, masa kamu sampai nggak tau sih ada tetangga baru”
“tante kayak nggak tau aja sih kalo kompleks ini tuh kuburan bertopeng perumahan”, aku menjawabnya dengan ketus. Aku memang sering menyebut kompleks perumahan ini dengan ‘kuburan bertopeng perumahan’, bagaimana tidak ku sebut kuburan kalau perumahan ini tidak pernah lepas dari kata sepi. Nggak pagi, nggak siang, nggak sore, perumahan ini selalu sepi dan senyap. Mungkin orang bisa mengira kalau kompleks perumahan ini tidak berpenghuni. Menyedihkan sekali orang-orang yang tinggal di kompleks perumahan seperti ini, yah termasuk diriku. Semua orang sibuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing tanpa pernah peduli dengan rumahnya sendiri. Rumah hanya sebagai tempat untuk mereka tidur, selebihnya tidak ada gunanya sama sekali. Seperti halnya aku, yang hanya bisa berdiam diri di rumah tanpa ada teman yang bisa aku ajak berbicara. Aku seperti tinggal di dalam kuburan, hanya ada aku sendiri. Mamah sudah meninggal dunia, hanya papah orang tua yang kupunya tapi dia selalu sibuk mengerjakan berbagai pekerjaannya entah apa itu. Dia tidak pernah melepas pekerjaannya hanya untuk bersantai-santai bersamaku. Selalu pulang larut malam dan dia pasti akan langsung tidur. Setiap pagi aku hanya bertemu sebentar dengannya karena aku harus berangkat sekolah sedangkan papah berangkat untuk bekerja kembali. Pekerjaan papah tidak pernah ada liburnya, hari minggu pun dia harus berkerja. Aku benar-benar seperti tinggal sendiri di rumah besar ini. Makanya aku akan sangat senang kalau tante Belinda mau menginap di sini.
“jangan sedih gitu dong, nanti cantiknya hilang tuh”
“aku nggak sedih kok, tante mau balik kapan?”
“tante balik sekarang, nggak papa kan?”, tante Belinda melirik jam di tangannya.
“nggak kok tante, lagian aku juga mau ke mall sama vanya”
“yaudah kalo gitu having fun ya”, satu kecupan di keningku mengakhiri jumpaku dengan tante Belinda.
 
“lebih bagus yang ini, apa yang ini?”, vanya menunjuk satu persatu tas yang tergantung di sebuah distro.
“hmm..”, aku mengamati tas yang menurutku sangat cocok untuk vanya, “yang itu aja, kayaknya cocok banget tuh buat loe”
“wah, iya keren banget. Loe tau aja kesukaan gue vi, nggak salah deh kalo gue ngajak loe”, vanya langsung nyengir kepadaku.
“jangan lupa aja sama lollipopnya”, sindirku pada vanya.
“tenang aja manis, gue pasti beliin kok”
Vanya langsung mengambil tas yang kupilihkan tadi lalu segera membayarnya di kasir. Keluar dari distro, kami langsung mencari-cari toko yang menjual lollipop. nggak salah, vanya memang membelikanku 5 lollipop yang paling gede di toko itu.
“vii..livii”, vanya memegang-megang tanganku dan membolak-baliknya.
“apaan sih”
“jangan bilang kalo ini jam tangan terbaru dari swiss”, mata vanya seakan-akan berbinar-binar melihat jam tanganku yang baru di berikan oleh tante Belinda. Aku memang sengaja langsung memakainya, rupanya vanya baru memperhatikan jam tangan yang kupakai.
Aku menjawab perkataan vanya dengan santai, “baru di kasih sama tante Belinda”
“wow!! Tante loe baik ya, setiap bulan pasti beliin loe sesuatu”
“gue udah anggap dia kayak nyokap gue sendiri”
“tadi dia dateng?”, tanya vanya lagi. Aku mengangguk.
“Cuma sebentar”, aku mulai bosan membicarakan tante Belinda, jujur aku masih kecewa karena dia tidak bisa menginap barang semalam di rumahku.
“by the way tadi gue liat bangunan di samping rumah loe udah jadi, bagus juga ya rumahnya. Dapet tetangga baru dong”
“katanya sih udah di tempatin, tapi gue nggak pernah liat tuh”, jawabku mengingat apa yang kubicarakan dengan tante Belinda.
“bukan tetangga yang baik loe, masa punya tetangga baru sampe nggak tau gitu”
“please deh, harus berapa kali gue bilang sih sama loe kalo kompleks perumahan gue tuh kuburan bertopeng perumahan”, aku mengatakannya dengan malas.
“oke, nggak usah ngomongin itu lagi, kan nggak asik kalo loe cemberut gitu”, vanya mulai menggodaku dengan senyum jahilnya.
“gue laper nih, kita makan yuk”


bersambung...

Tidak ada komentar: