Minggu, 12 Februari 2012

Bermain Ice Skating


Mau bermain ice skating?nggak usah susah-susah ke luar negeri kok nyari tumpukan salju, di jakarta juga ada. Dateng aja ke mall taman anggrek, di lantai L3 kalian bisa menemukan arena untuk bermain ice skating. Sekedar saran buat kalian yang baru pertama kali menginjakkan kaki di mal taman anggrek, daripada susah-susah mencari arena skyrink (arena bermain ice skating) dan malas bertanya pada satpam dan semacamnya jadi lebih baik kalian melihat peta taman anggrek. Biasanya denah taman anggrek ada di setiap lantai dan tidak sulit untuk mencarinya. Setelah mendapatkan denahnya, kalian tinggal mencari di mana letak skyrink berada.

Kalian hanya perlu merogok kocek sebanyak Rp 42.000,00 untuk bisa bermain skyrink selama 2 jam lamanya. Waktu gue ke sana beberapa hari yang lalu ternyata mahasiswa bisa dapet potongan harga, jadi yang merasa mahasiswa pastikan kartu tanda mahasiswa tersimpan di dompet karena kita bisa mendapatkan harga yang lumayan sesuai dengan kocek mahasiswa yaitu Rp 29.500,00. Harga yang gue sebutin itu belum termasuk sewa loker yaa soalnya kita pasti butuh loker buat nyimpen barang-barang kita. Gue nggak tau persis harga sewa lokernya tapi loker untuk 5 orang dikenakan seharga Rp 7000,00. Saran gue lagi ya, ini penting banget soalnya. Jangan lupa untuk membawa kaus kaki karena tidak mungkin kita bermain skyrink tanpa kaus kaki tapi bagi kalian yang lupa membawa kaus kaki, mereka menyediakan kaus kaki seharga Rp 8000,00. Tapi menurut gue, daripada kalian membeli kaus kaki lebih baik siapkan dari rumah. Kan lumayan jadi  lebih irit. hehe. 
Setelah masuk, jangan lupa untuk meletakkan barang-barang di dalam loker dan tiket masuk jangan sampai hilang soalnya tiket masuk itu akan diperiksa lagi saat kita keluar dari skyrink, mungkin agar mereka bisa tau kalau kita melewati batas jam karena kalau kita sampai melewati batas jam kita bisa menambah biaya. Selesai memakai sepatu ice skating seperti gambar di atas, kalian bisa langsung bersenang-senang memasuki arena ice skating. Perhatian buat kalian yang pertama kali bermain ice skating gue kasih tau aja, jangan terlalu bersemangat jaga keseimbangan kalian soalnya temen gue langsung jatuh saat melangkahkan kaki pertamanya di atas es. haha. Kalau bisa kalian langsung berpegangan tangan di pinggir arena. Gue merasa sangat bersyukur mereka menyediakan pegangan di pinggir arena, kalau nggak ada gimana gue yang nggak bisa main ice skating???yang ada bukannya gue meluncur pake kaki malah pantat gue yang meluncur di atas es #beruntung itu nggak terjadi sama gue. 

 liat aja tuh gaya gue, berpura-pura cool padahal tangan nggak bisa lepas dari pegangan.hahaha.

jeng.jeng. liat juga tuh temen-temen gue yang lebih nggak bisa lepas pegangan daripada gue.ahaha. Yaa daripada mempermalukan diri sendiri kalau jatuh jadi mungkin lebih baik berpegangan erat hehe.
Jangan sampai kayak gini juga...hihihi

Tapi setelah gue pikir-pikir, rugi juga udah ada di skyrink tapi cuma mepet-mepet aja di pinggir ^_^
 Akhirnya dengan susah payah gue memberanikan diri tanpa berpegangan

ada yang kepeleset tuh di belakang

Sementara temen gue yang lain....
masih aja mepet ahaha.
Sedikit-sedikit akhirnya gue bisa juga ke tengah-tengah

daaaan jeng.jeng.jeng akhirnya temen-temen gue bisa juga terlepas dari pegangan hehe
Berkat kerja keras dan usaha banting tulang. walah-walah nggak segitunya juga kali yaaa
ahaha liat tuh, meskipun gaya gue dan temen-temen gue aneh-aneh tapi tetep aja oke.
Naah abis kedinginan setelah bermain ice skating enaknya makan mie ramen nih..
Sumpah sendoknya gede banget kayak sendok sayur hehe
Porsinya juga lumayan banyak tapi gue sanggup abisin semua bahkan punya temen gue yang nggak abis masih kuat gue embat ahaha nggak tau dah apa gue rakus atau gimana tapi emang bener kata temen gue perut gue itu perut karung bolong ^_^

Sabtu, 11 Februari 2012

Miss Lollipop (part three. new neighbor)

“vi, kayaknya loe musti hati-hati deh”, zeva berbicara dengan serius.
“hati-hati kenapa?”, jawabku santai.
“prestasi loe bakal terancam”, jawab zeva dengan suara yang terkesan mendramatisir.
“terancam bagaimana maksud loe?”
“iya, soalnya gue denger-denger si arby itu otaknya encer banget, dia pernah menang olimpiade fisika 3 kali dan 2 kali olimpiade matematika”
“tau dari mana loe?”, aku masih menanggapi perkataan zeva dengan santai, tidak percaya dengan apa yang di katakannya.
“dari gosip-gosip yang beredar”, selalu saja mendengar dari sebuah gosip.
“alah.. paling juga gosip murahan, gue nggak percaya tuh cowok belagu kayak gitu mana mungkin secerdas itu. Dengerin gue ya, tipe cowok kayak dia itu kerjaannya paling cuma mejeng di mall, nongkrong nggak jelas, foya-foya, loe kayak nggak tau anak gaul jaman sekarang aja. Kalo dia pemenang lomba model sih gue baru percaya”, aku berbicara panjang lebar tetang pendapatku mengenai arby.
“kalo dia pemenang model sih gue juga percaya banget”, vanya ikut berkomentar.
“yah tapi kan seenggaknya loe hati-hati aja sama dia”, zeva memperingatkan.
“yang di omongin panjang umur tuh”, vanya melirik ke arah arby dan teman-temannya yang baru saja memasuki kantin. Arby memegang sebuah botol air putih. Pandangan mataku tidak pernah lepas memperhatikannya. Rasanya aku pernah melihatnya sebelum dia masuk ke sekolah ini, tapi entah dimana. Melihatnya memegang sebuah botol air putih, mengingatkanku pada suatu kejadian. Ya, aku mengingatnya sekarang. Tentu saja aku pernah melihatnya, dia yang telah menolongku di halte dari bapak-bapak yang sedang mabuk. Dia yang waktu itu aku sebut-sebut sebagai pangeran tampan. Tapi dia berbeda dengan yang pernah aku temui di halte. Waktu itu dia lebih ramah, lebih baik hati dan dia juga memberikan senyumnya dengan percuma kepadaku. Berbeda sekali dengan yang sekarang, dia lebih menyebalkan rasanya aku cukup menyesal pernah berangan - angan ingin bertemu dengannya lagi. Ternyata dia bukan pangeran tampan yang selama ini aku bayangkan.
“dia beda banget”, gumamku pelan.
“beda apanya coba?dia masih menyebalkan seperti biasanya”, ternyata vanya mendengar gumamanku.
“oh..nggak”, kemudian aku melayangkan jari telunjukku ke udara, “loe harus tau”, sejenak aku terdiam, sengaja menunggu reaksi dari kedua temanku.
Ketika aku rasa kedua temanku sudah benar-benar merasa penasaran aku melanjutkan pembicaraanku, “arby pernah nolongin gue sewaktu gue di ganggu orang di halte”
Zeva dan vanya tampak serius mendengarkanku, “masa sih?loe salah orang kali, mungkin aja dia cuma mirip”, zeva menyanggah perkataanku.
Aku menggeleng-geleng dengan cepat, “gue nggak salah orang kok, gue yakin banget kalo orang itu emang arby”, aku tetap yakin pada apa yang kuingat.
“coba deh loe inget-inget lagi, kali aja bukan”
“suer deh, gue nggak mungkin salah soalnya gue sempet ngenalin diri tapi sayangnya dia nggak keburu ngenalin dirinya ke gue”
“sebentar-sebentar..tadi loe bilang dia beda?”, vanya yang tadi mendengar gumamanku meminta penjelasan.
“iya, soalnya waktu gue ketemu di halte dia nggak pelit sama senyumnya, dia juga baik banget”, jawabku dengan jujur.
“tuh kan, pasti itu bukan dia. Nggak mungkin kan dia sebaik itu?”, zeva semakin tidak percaya.
“iya, bener kata zeva. Pasti loe salah orang”, vanya membenarkan ucapan zeva.
“terserah kalian deh, tapi gue yakin kalo itu pasti arby”
Saat aku menyerah dengan perdebatan ini, tiba-tiba robi datang menghampiriku.
“sayang, aku boleh gabung nggak?”, dia mengusap punggungku kemudian duduk di sebelahku setelah aku memberinya anggukan kecil.
Dari tempat dudukku, aku bisa melihat arby dan teman-temannya yang juga sedang berbincang-bincang dengan asyiknya. Sampai ketika robi menghampiriku, aku bisa melihat pandangan arby menuju ke arah dimana aku dan teman-temanku sedang duduk. Aku tidak tahu dia sedang melihat apa atau siapa, tapi yang jelas ke arah tempat duduk kami, entah dia melihat tempat duduk di belakang kami atau apalah, aku tidak tahu. Yang pasti tatapannya tidak terlihat ramah, seperti tatapan tidak suka.

 
Aku tetap harus bangun pagi walaupun sekarang hari minggu. Aku mengganti baju tidurku dengan pakaian joggingku. Aku tidak akan pernah meninggalkan kegiatan lari pagiku terkecuali jika aku sakit. Aku mengambil handuk kecilku lalu menaruhnya di bahuku. Setelah selesai mengikat tali sepatu, aku mulai berlari-lari kecil meninggalkan rumah. Aku mulai dengan sedikit pemanasan sebelum aku benar-benar harus mengelilingi kompleks perumahan yang cukup luas ini. Aku menemukan beberapa orang yang juga sedang berlari pagi. Walaupun hanya sedikit sekali tapi ini cukup baik karena biasanya hanya aku yang berlari pagi.
“livi”, seseorang memanggilku dari belakang.
Aku langsung menoleh dengan cepat, ternyata elis. Dia salah satu teman yang kukenal di perumahan ini. Rumahnya berbeda 2 blok denganku, dia gadis yang sangat ramah. Bahkan dia selalu mengundangku kalau mempunyai sebuah acara. Tidak biasanya dia berlari pagi karena setahuku dia lebih suka fitness di langgar miliknya, aku memandangnya dengan heran, “nggak biasanya loe lari pagi”
“iya nih, gue lagi pengen aja. Hehehe”, dia langsung nyengir kuda. Aku melanjutkan lariku, elis mengikutiku.
“gimana kabar gebetan loe yang terakhir?”, aku berbasa-basi menanyakan masalah cowok yang di sukainya yang pernah dia ceritakan kepadaku.
“sekarang gue udah jadian sama dia, berkat saran-saran loe waktu itu. Sekarang gue tau kenapa loe bisa gonta-ganti cowok 3 kali seminggu”, dia tertawa terbahak-bahak. Aku memang memberinya saran tentang cara mendekati cowok, tapi sepertinya saran yang ku berikan padanya tidak cukup manjur untukku dan kedua temanku untuk mendekati arby. Elis memang cukup tahu kalau aku sangat sering bergonta-ganti cowok.
“bagus deh kalau loe udah jadian sama dia, gue ikut senang”
“eh vi, tadi gue ketemu tetangga baru loe”
“tetangga baru gue?”
“iya, dia juga lagi lari pagi, dia ganteng banget .eh gue duluan ya vi”, elis tidak melanjutkan ceritanya karena dia harus berbelok menuju blok rumahnya. Dia melambaikan tangannya kepadaku sebelum pergi. Aku kembali melanjutkan lariku, sudah lebih dari setengah putaran kompleks aku berlari. Masih satu blok lagi yang harus aku lewati sebelum aku sampai di rumah tapi aku sudah sangat lelah, biasanya aku berhenti 3 kali saat berlari tapi dari tadi aku belum berhenti sama sekali. Aku berhenti di pinggir taman kecil yang ada di perumahan ini, napasku tersenggal-senggal. Aku haus sekali, kurogoh saku celanaku. Tidak ada air. Ya ampun, aku lupa membawanya. Padahal aku sudah menyiapkannya di meja makan tapi aku lupa mengambilnya. Aku memegang lututku yang sudah sangat kelelahan sambil menundukkan kepalaku. Mencoba mengatur kembali napasku. Keringat keluar sangat banyak di tubuhku. sekarang aku benar-benar haus.
Tiba-tiba sebotol air minum berada di hadapanku. Seseorang dengan baik hati menyodorkannya untukku. dengan cepat aku mendongakkan kepalaku untuk melihat pemilik tangan yang menyodorkan botol air minum ini. Aku sangat..sangat..sangat..terkejut melihat siapa yang sekarang berada di hadapanku. Bagaimana mungkin dia bisa ada di sini?
“arby!!!”, aku menatapnya dengan heran.
“mau minum nggak?”, dia berkata dengan santai tanpa memandangku.
“loe ngapain di sini?”, aku melupakan rasa hausku dan mulai mengintrogasinya.
“ini minum”, dia mengabaikan pertanyaanku dengan kembali menyodorkan botol air minumnya tapi kali ini seperti memaksa. Aku jadi teringat kembali dengan rasa hausku ketika melihat air di dalam botol itu. Aku tidak bertanya-tanya lagi, segera saja aku ambil botol air minum dari tangannya dan meneguk habis setengahnya. Kalau saja aku lupa dia cowok yang paling menyebalkan mungkin aku sudah meneguk habis semua air ini. Aku benar-benar sangat haus.
“minum aja semuanya kalo loe haus”, arby berkata seakan tahu apa yang ada di pikiranku, atau mungkin cara aku minum memang kelihatan seperti orang yang sangat kehausan? Aku diam sejenak, tidak yakin dengan apa yang di katakannya.
“gue nggak haus jadi nggak papa kalo loe mau abisin”, tanpa menunggunya berkata lebih banyak, aku langsung menenggak habis air minumnya. Aku tidak peduli dia sudah minum atau belum, dia haus atau tidak yang penting rasa hausku sudah hilang sekarang. Aku mengembalikan kembali botol minumnya.
“makasih”, ucapku malas. Dia tidak menjawab ucapan terima kasihku. Tanpa berbasa-basi padaku lagi, dia langsung melanjutkan larinya. Aku ikut berlari di belakangnya karena dia berlari ke arah yang sama dengan arah rumahku. Aku ingin sekali menanyakan padanya tentang kejadian di halte itu, untuk memastikan benar atau tidak kalau dia yang menolongku saat itu.
Aku mencoba menyamakan posisiku dengannya. Dengan mengumpulkan seluruh keberanianku, “kayaknya gue pernah liat loe di halte deh”, aku bertanya dengan penuh hati-hati. Tidak ada renspons darinya, dia tetap diam tanpa menoleh kepadaku.
“waktu itu loe nolongin gue kan?”, aku mencoba mengingatkannya lagi. Dia tetap diam. “gue inget banget kejadiannya dan gue yakin banget kalo itu loe, iya kan?”, aku berusaha untuk tidak mempedulikan kediamannya.
“mungkin”, ternyata dia menjawabnya setelah lama diam.
Aku tidak berniat lagi untuk bertanya-tanya dengannya. Aku memelankan lariku agar berada di belakangnya kembali. Sesampainya di depan rumah baru di samping rumahku dia berbelok masuk ke dalamnya. WHAT??. Jadi ternyata dia yang selama ini di sebut-sebut tetangga baruku?ada apa ini?kenapa harus dia yang menjadi tetangga baruku?apa tidak ada orang yang lebih baik dari dia yang bisa menjadi tetanggaku?

Miss Lollipop (part two. we must get him)


“gila ya tuh murid baru keren abis”, seru zeva di jam istirahat.
Aku mencoba mencari-cari orang yang sedang di bicarakan zeva. “dia nggak ada di sini non”, zeva seakan tau apa yang kucari.
“emang loe liat dia dimana?”, vanya juga ikut ingin tau.
“tadi gue liat dia di ruang kepsek”, zeva mulai senyum-senyum sendiri, mungkin dia sedang membayangkan wajah anak baru yang dia bilang keren abis itu.
“loe ngapain di ruang kepsek?”, tanyaku penasaran, karena setahuku zeva jarang memasuki ruang kepsek.
“tadi waktu gue lewat, banyak anak cewek yang pada ngintip. Dari pada gue penasaran, ya gue ikut ngintip aja”, zeva mulai tertawa.
“yeee”, aku dan vanya mencibir berbarengan.
“emang secakep apa sih tuh anak baru, kayaknya semua cewek di sekolah ini pada ngebet abis sama tuh orang”, aku tidak habis pikir aja ada cowok di sekolah ini yang cakepnya melebihi tomi, cowok yang terkenal paling cakep di sekolah ini. Tomi pun udah pernah jadi pacarku, yang ternyata dia playboy cap kadal.
“pokoknya tomi lewat deh”, jawab zeva dengan pasti.
“kayaknya boleh juga tuh kalo kita jadiin mangsa selanjutnya”, vanya tersenyum penuh arti setelah menemukan ide itu.
“tapi gue duluan ya, kan gue yang liat dia duluan dari pada kalian berdua”, baru kali ini aku melihat zeva sangat antusias dengan seorang cowok padahal biasanya dia jarang memilih-milih cowok yang akan menjadi mangsanya.
Aku mulai tertarik dengan apa yang di bicarakan zeva, “enak aja loe, yang paling penting siapa cepat dia dapat”
“kali ini gue pasti ngedapetin duluan daripada loe berdua”, vanya berkata antusias.
“selama ini kan nggak ada yang bisa ngalahin gue kalo udah masalah cowok, kali ini pasti gue juga yang dapetin”, aku berkata tidak mau kalah.
“kalo soal yang satu ini, gue pasti bakal ngalahin loe berdua”, zeva ikut panas mendengar kami berdua.
“hai, ka..kalian semua lagi ngomongin apa sih?”, suara gagap ben ikut bergabung. Ben, cowok cupu yang pernah ada di sekolah ini. Namanya sih keren, ben, tapi penampilannya nggak banget deh. Dengan kacamatanya yang tebal, celana yang menggantung karena di pakai sampai di atas perut, kancing atas baju yang selalu terkancing dengan dasi yang terlihat mencekik leher, model rambut belah tengah yang selalu terlihat basah karena di olesi minyak rambut, entah apa itu. Selain penampilannya yang nggak banget itu, dia juga satu-satunya anak di sekolah ini yang sangat..sangat..polos, bahkan seperti anak kecil. Mungkin sifatnya yang terlalu polos dan seperti anak kecil itu akibat karena tidak ada yang mau bergaul dengannya. Oleh karena itu ben selalu menjadi sasaran empuk semua orang untuk di jadikan lelucon. Pernah dia di kerjain sama anak-anak cowok di kelasnya. Ben di perlihatkan video porno, yang terjadi dia malah menjerit-jerit dengan keras. Dan bodohnya lagi, ben memberitahukan apa yang dia lihat kepada guru biologi saat pelajaran reproduksi manusia.
“yang pasti kita nggak lagi ngomongin loe ben”, sambut vanya menjawab pertanyaan ben dengan ketus.
“bagus deh ka…kalo kalian nggak lagi ngomongin aku, so…soalnya aku nggak suka kalo di omongin sama orang”, ben membetulkan kacamatanya yang tidak kenapa-napa. Kebiasaan ben yang selalu membenarkan kacamatanya ketika lagi berbicara dengan orang lain.
“yaudah, kalo loe nggak mau di omongin sama kita, mendingan loe pergi jajan aja ya jangan di sini”, zeva memasang wajah berpura-pura manis sambil mendorong ben.
“iya, ini a..aku mau jajan. Livi mau apa?aku be..beliin ya?”, ujar ben dengan berbinar-binar.
“makasih ya ben, tapi gue udah kenyang”, jawabku sambil tersenyum kecut.
Ben memasang wajah kecewanya, “ka..kalo gitu aku jajan dulu ya”
“iya udah sana pergi”, zeva kembali mendorong-dorong ben. Ben pergi dengan langkahnya yang ragu-ragu. Kemudian berbalik lagi menghampiri kami.
“ada apa lagi ben?”, tanya vanya dengan tidak sabar.
“aku lu..lupa mau bilang sesuatu”, ben mulai berfikir sejenak. Kami menunggunya mengingat apa yang mau dia katakan, “aku i..ingat sekarang, aku mau bilang kalo hari ini livi ca..cantik banget”, ben tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumnya dengan malas.
“cie…kayaknya ben bersedia tuh jadi mangsa baru loe vi”, vanya mulai meledekku.
“eh…sembarangan aja loe, mana mau gue sama cowok cupu kayak gitu”
“loe jangan rakus vi, loe kan udah ada ben, anak baru itu buat gue”, zeva cekikikan sendiri dengan apa yang di katakannya. Aku hanya memasang wajah cemberut.
“jangan senang dulu loe va, gue pasti yang bakal dapetin dia”, vanya membuka kembali perang adu mulut untuk memperebutkan anak baru yang sama sekali belum pernah dia lihat. Kenal pun hanya dari omongan dari mulut ke mulut. Bahkan, namanya saja belum ada yang tahu.

 
“livi sayaaang, kita udah tau dong nama anak baru itu”, vanya dan zeva berteriak menghampiriku yang sedang duduk di dalam kelas. Mereka memang habis menyelidiki tentang anak baru itu dengan ikut bergosip ria dengan bigos (biang gosip) di sekolah ini. Apalagi sekarang vanya semakin gencar ingin mendapatkan cowok itu setelah dia melihatnya di parkiran sekolah. Hanya aku yang belum melihat anak baru itu, padahal dia sudah tiga hari berada di sekolah ini. Sebenarnya tadi aku mau mengikuti zeva dan vanya untuk mencari tahu tentang cowok yang satu ini tapi ray keburu datang menghampiriku.
“siapa namanya?”
“namanya ARBY!!!”, zeva dan vanya menjawabnya dengan serempak dengan volume yang cukup keras. Kemudian mereka mulai senyum-senyum nggak jelas.
“kalian ini kenapa deh, biasanya juga kalian yang di kejar-kejar cowok tapi sekarang malah kalian yang ngejar-ngejar cowok”, tanyaku heran karena melihat tingkah kedua sahabatku ini.
Vanya melirik ke arahku, “pliss deh non, loe belum ngeliat dia sih”
Zeva mengangguk-angguk menyetujui perkataan vanya, “iya, coba loe ngeliat dia, pasti nggak kalah heboh deh sama kita berdua”
“oke gue kalah, gue emang belum ngeliat tuh cowok sih”
“gimana kalo hari ini kita cari si arby biar loe bisa tau betapa cakep nya dia”, zeva kembali bersemangat, apalagi memang maunya dia bisa ngeliat arby. Aku mengangguk setuju, karena aku juga sudah sangat penasaran dengan cowok yang sekarang sedang hebohnya di bicarakan semua cewek di sekolah.
“emang si ray mau loe kemanain vi?”, vanya mencari-cari sosok ray di kelas.
“baru aja gue putusin, habisnya dia nyamperin gue terus sih ke kelas, gue kan bete ngeliat muka dia terus”, aku tidak bisa menahan tawaku mengingat alasan yang kuberikan pada ray saat aku memutuskannya. Vanya dan zeva ikut tertawa mendengar alasanku.
“bener juga alasan loe vi, gue aja bosen ngeliat dia nyamperin loe tiap menit”, ujar zeva.
“tapi loe berdua juga, bukannya kemarin zeva jadian sama denis ?vanya juga kemarin lusa jadian sama ryan kan?”, tanyaku mengingat-ingat.
“gue nggak mau dong jomblo gara-gara ngejar arby, nanti kalo arby udah mulai deket sama gue baru deh gue putusin ryan”, jawab vanya.
“gue nggak mau kalah sama kalian, masa kalian punya cowok gue nggak?”, zeva benar-benar hanya ikut-ikutan gonta-ganti cowok.
“kalo gitu sekarang kita mau nyari arby dimana?”, aku mengalihkan pembicaraan tentang arby kembali.
“gimana kalo kita cari dia di kelasnya dulu”, usul zeva.
“mumpung masih ada jam istirahat, kita ke sana sekarang aja”, vanya langsung bersemangat.
“let’s go!!”, ucapku sambil menarik tangan vanya dan zeva.
Kami mulai berjalan menyusuri kelas-kelas menuju kelas arby. Kami sempat salah masuk kelas dan kepergok tengah mencari-cari arby. Tapi seperti biasa kami hanya memasang muka tembok.
“ada apa manis?”, coky menghampiri vanya ketika di panggil. Coky salah satu dari mantan-mantan pacarnya vanya, kebetulan dia sekelas dengan arby jadi vanya hanya berpura-pura sedang mencarinya.
“nggak, aku mau ketemu aja sama kamu”, jawab vanya asal, padahal matanya tengah berkeliaran mencari-cari sosok arby. Zeva juga tengah mencari-cari arby. Mataku juga tengah memperhatikan seluruh isi kelas. Kalau ada anak yang belum pernah aku lihat di sekolah ini, itu pasti yang namanya arby.
Zeva memandangku, kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala. Pencarian gagal, arby sedang tidak ada di kelas.
“temen-temen kamu pada kemana?”, vanya memancing coky mencari berita.
“paling juga mereka lagi di kantin”
“oke, kalo gitu aku cabut ya”, vanya mengisyaratkan aku dan zeva untuk mengikutinya pergi dari kelas ini.
“jadi sekarang kita ke kantin?”, tanyaku mengetahui arah perjalanan.
“dia pasti ada di sana”, jawab vanya yakin.
Sesampainya di kantin, kami mulai memasang mata kembali. Mencari-cari sosok yang bernama arby. Kami mulai berpencar mengelilingi kantin, karena kantin sekolah kami memang cukup luas. Kami sepakat untuk memberitahu lewat sms kalau salah satu dari kami ada yang melihat arby. Tentunya aku hanya mencari-cari orang yang belum aku kenal di sekolah ini. Aku mengenal cukup banyak orang di sekolah, barang kali aku tahu mana orang yang baru aku lihat.
Lelah mencari-cari, kami kembali bertemu di bangku dekat toilet wanita. Tidak ada yang melihat sosok arby.
“gila ya, nih orang susah banget di carinya”, ucapku setelah meminum segelas air putih.
“mungkin emang belum waktunya kali loe ketemu sama dia”, jawab zeva.
“pucuk di cinta ulam pun tiba”, vanya berbicara tanpa menoleh kepada kami. Aku dan zeva mengikuti arah mata vanya. Matanya mengarah ke depan toilet pria. Tiga orang cowok tengah mengobrol, mereka baru keluar dari toilet. Aku mengenal betul 2 orang cowok diantara mereka, tapi yang satunya lagi. Aku baru pertama kali melihatnya di sini. Dan memang benar kalau dia sangat…sangat…tampan. Tapi setelah aku perhatikan terus wajahnya, kayaknya aku pernah melihatnya tapi aku lupa.
“arbyyy cakep banget sih loe”, gumam vanya dan zeva.
“iya, dia emang cakep”, aku mengakuinya, karena dia memang sangat tampan. Kalau tau arby setampan ini, aku juga nggak mau kalah memperebutkannya dengan vanya dan zeva.
“sekarang loe udah tau kan vi, kalo ketampanannya tuh bisa menyihir semua cewek yang ada di sekolah ini”, ujar zeva padaku.
“iya, kalo di suruh milih mau ke prancis sama tomi atau di kandang sapi sama arby, gue pasti milih di kandang sapi sama arby”, ucapku asal.
“kita panggil yuk”, zeva memberi saran.
“boleh”, aku menyetujui.
Kami bertiga mulai memasang wajah semanis mungkin, “ARBY”, kami mengucapkan nama arby dengan nada selembut mungkin.
Yang di panggil namanya menoleh ke arah kami. Kami bertiga melambaikan tangan dengan genit kepadanya saat dia memandang kami. Kedua temannya membalas lambaian tangan kami. Kami tetap menunggu reaksinya tapi dia hanya diam tanpa menghiraukan kami dan langsung mengalihkan pandangannya kembali kepada teman-temannya. Kemudian dia pergi begitu saja dengan menganggurkan lambaian tangan kami. Semua cowok di sekolah ini menunggu-nunggu lambaian tangan dari kami tapi apa yang dia lakukan?dia malah membiarkan lambaian tangan kami menggantung di udara.
“gila, sombong banget”, pekik zeva kesal.
“tapi nggak papa ah, yang penting kan dia tetep ganteng”, jawab vanya yang masih memandang punggung arby.
“kalian masih mau dapetin dia nggak?”, tanyaku menggoda.
“masih kok masih mau”, mereka menjawabnya langsung.

Miss Lollipop (part one. miss lollipop)


“balonku ada lima…”, suara cempreng seorang anak kecil berumur sekitar lima tahun terdengar sangat nyaring di antara suara bising lainnya. Bagaimana tidak terdengar di telingaku kalau anak kecil ini bernyanyi di sampingku, mencoba menghibur semua orang yang ada di halte ini.
Mataku tidak lepas dari bocah kecil yang sedang bernyanyi itu. Kemana orang tuanya?manusia macam apa yang tega melepaskan anak sekecil ini di jalanan. Iba aku melihatnya mencari uang sendiri. “makasih kak”, puas sekali melihat senyumnya setelah aku menyodorkan selembar uang seribuan. Bocah kecil itu beranjak dari hadapanku dengan harapan akan ada yang memberinya uang selain diriku. Malangnya bocah itu ketika seorang lelaki separuh baya mendorongnya sampai tersungkur. Serempak semua orang yang ada di halte menatap marah pada lelaki separuh baya yang mendorongnya.
“bapak kalo nggak mau ngasih uang jangan di dorong segala”, bentakku sambil membangunkan bocah kecil itu.
“kenapa? Ada masalah ?”, lelaki setengah baya itu berjalan dengan langkahnya yang tidak seimbang. Dari caranya berjalannya aku menyadari kalau lelaki itu sedang mabuk. Aku merasa sangat bodoh dengan membentak lelaki itu. Semua orang yang tadi ikut membantuku membela anak kecil ini kini mundur perlahan-lahan.
“berani kali kau melawanku”, lelaki itu berbicara dengan logat medan yang kental. Aku tidak berani lagi untuk membentaknya, nyaliku ciut seketika. Aku tidak ingin menimbulkan amarah lelaki ini, orang yang sedang mabuk biasanya akan melakukan apapun di luar kendalinya. Sementara lelaki itu semakin berani mendekat ke arahku, di saat itu juga aku mematung. Aku tidak ingin melakukan hal yang bodoh, lari misalnya. Aku tidak bisa membayangkan kalau lelaki ini akan mengejarku kalau aku sampai lari, oleh karena itu aku lebih memilih diam di tempat. Tangannya mulai mengepal dan siap-siap untuk melayangkannya ke udara, mengarahkannya kepadaku. Seketika itu juga aku merapatkan tanganku ke mukaku, mencoba melindunginya dari hantaman yang mungkin akan ku terima.
Satu menit berlalu, dua menit aku menunggu. Tidak terjadi sesuatu denganku. Ku regangkan jari-jari tanganku, mencoba mengintip dari celahnya. Lelaki setengah baya itu tengah di pukuli oleh seorang cowok, kuturunkan tanganku perlahan-lahan, mataku tidak bisa berkedip melihat wajah cowok itu. Dia begitu manis, cute dan juga cool. Oh my god!!! Mimpi apa gue semalem bisa ketemu sama cowok setampan dia dan juga baik hati tentunya, buktinya aja dia mau nolongin gue.
Dia seperti pangeran yang datang tiba-tiba untuk menolong sang putri. Dia pangeran gue, pujiku dalam hati. Pangeran itu hanya mendaratkan tinjunya tiga kali di muka dan perut lelaki setengah baya itu. Ide yang bagus, orang yang mabuk memang harus di siram oleh air. Aku tertawa dalam hati menyaksikan pangeran tampan menyiram lelaki setengah baya itu.
Tidak ingin melewatkan kesempatan, aku menghampiri pangeran tampan itu, “makasih ya”. Aku menunjukkan senyum termanisku untuknya. Beruntungnya aku hari ini, pangeran tampan itu membalas senyumku. senyuman yang sangat ..sangat..sangat manis dan wow matanya indah banget. “lain kali hati-hati”, tidak kusangka suaranya merdu banget. Gue mimpi nggak sih ketemu cowok se-perfect dia. Mungkin gue orang paling beruntung sedunia hari ini karena telah bertemu cowok setampan dia.
“gue livi”, tidak menunggu lama, aku memperkenalkan diri, menyodorkan tanganku.
“nama yang cantik”, dia menjabat tanganku, tangan terhangat yang pernah aku jabat. Dia bilang apa ?nama gue cantik?nggak salah sih, banyak orang yang bilang nama dan wajah gue emang cantik. Hahaha. Gue jadi narsis sendiri. Tapi aku tidak pernah sesenang ini jika ada orang yang mengatakan hal yang sama.
“gue…”, belum sempat dia menyebutkan namanya, bunyi klakson-klakson mobil dari jalan besar membuatnya melepas tangannya bahkan tanpa kusadari. Dia berlalu begitu saja dan melupakanku. Dia masuk ke dalam sebuah mobil, ternyata mobilnya menghambat jalannya mobil-mobil yang lain. Aku di tinggal pergi oleh sang pangeran, dia bahkan tidak berpamitan denganku. Dia juga belum sampai menyebutkan namanya, tapi karena senangnya aku melupakan kalau dia mengabaikanku, aku sudah cukup senang bisa bertemu dengannya.
“kamu kenapa senyum-senyum sendiri?”, selidik vito yang sejak aku masuk ke dalam mobilnya tidak ku ajak berbicara sedikitpun. Aku bahkan tidak sadar kalau aku tengah tersenyum-senyum sendiri karena masih membayangkan sang pangeran. Bahkan aku membayangkan bagaimana dia menolongku, meninju lelaki tadi dengan slow motion.
“udah deh kamu jangan banyak tanya”, bentakku yang berhasil membuatnya kembali terdiam selama perjalanan.
Vito keluar dari mobilnya dengan terburu-buru untuk segera membukakan pintu mobil untukku. Kami sudah sampai di depan rumahku. Tepat di saat vito membukakan pintu mobil, aku mendorong pintu mobilnya dengan kasar. Aku sengaja mendorongnya agar mengenai vito. Aku keluar dari mobil dengan wajah sedatar mungkin.
“kamu marah?”, tanya vito dengan hati-hati. Aku menghentikan langkahku saat itu juga, vito ikut menghentikan langkahnya. Memandangku dengan wajah berharap-harap cemas.
“kamu telat jemput aku, kamu juga satu-satunya cowok yang buat aku harus nunggu di halte jalan raya. Kamu tau kan kalo aku nggak pernah nunggu di tempat kayak gitu”, aku berbicara dengan nada yang sangat datar.
“maafin aku ya liv”, wajahnya mulai memelas.
“aku maafin kok, makasih ya tumpangannya”, senyumku mengembang untuknya, “maafin aku juga ya kalo hari ini kita putus”, aku mengucapkan kata putus dengan intonasi yang tinggi. Aku mengusap wajahnya sekejap sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Dia sempat memohon-mohon agar aku tidak memutuskannya. Aku tidak mempedulikan permohonannya, berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi kepadanya.

 
“livi sayaaang…kemarin kamu ‘mutusin’ vito ya?”, suara nyaring zeva menyambutku ketika aku memasuki kelas.
“wow..ternyata udah jadi berita terhangat ya?”
“gila ya temen kita yang satu ini, baru seminggu udah berhasil matahin hati 3 cowok”, vanya ikut menyahut dengan suara tawanya yang khas.
“itu sih belum seberapa”, aku berkata dengan bangga. Sudah menjadi tradisi kami bertiga untuk mencoba menjadi yang terbaik untuk memecahkan rekor pacar terbanyak. Kami memang termasuk cewek-cewek yang paling di ‘minati’ oleh seluruh cowok yang ada di sekolah ini. Selain kami bertiga memang cantik, setidaknya semua orang bilang begitu, selain itu kami juga tidak bisa di bilang cewek biasa saja. Orang tua kami termasuk donor terbesar di sekolah kami, namanya juga sudah tidak asing lagi didengar oleh semua orang. Apalagi orang tuaku adalah pemilik sekolah yang aku tempati ini. Tapi bukan hanya itu yang membuatku dan juga teman-temanku terkenal di sekolah ini, kami juga tidak bisa di bilang cewek yang hanya menang cantik tapi kami juga memiliki bakat masing-masing. Aku lebih menonjol di bidang akademik, zeva lebih berbakat di bidang olahraga, vanya lain lagi dia lebih terasah di bidang tarik suara.
“jadi kenapa loe ‘mutusin’ vito?”, vanya mulai mengintrogasiku dengan berbagai pertanyaan yang selalu diajukan setiap kali aku memutuskan pacar-pacarku.
“kalian bisa bayangin nggak sih gue di suruh nunggu di halte jalan raya?”
“hah? Loe nggak bercanda vi?”, zeva hampir mengeluarkan bola matanya setelah mendengar pernyataanku.
“gue nggak bercanda honey”, aku mencubit pipi zeva dengan gemas.
“gila ya tuh si vito, dia nggak tau apa siapa livi kita yang satu ini?”, vanya ikut menambahkan.
“udah deh nggak usah ngebahas vito lagi, loe berdua gimana? Minggu ini zeva sama rival, vanya sama coky? Loe berdua masih sama mereka atau …?”, vanya dan zeva mulai tersenyum usil, oleh karena itu aku sengaja tidak melanjutkan perkataanku.
Mereka berhenti tersenyum, “kita juga nggak mau kalah sama loe vi”, vanya menggoyang-goyangkan jari telunjuknya ke arahku.
“tapi kalian harus hati-hati, soalnya gue udah punya….”, aku mulai mencoba menghitung dengan jari-jari tanganku tanpa bersuara, “SEPULUH MANGSA”, pekikku senang.
“jangan senang dulu loe vi, kali aja sepuluh mangsa loe sekarang udah pada kabur”, zeva masih tidak mau kalah. Vanya mengiyakan perkataan zeva dengan mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“curang loe ya berdua, jadi sekarang kalian sekelompok sedangkan gue sendiri?hah?”, aku membelalakkan kedua mataku dengan kedua tanganku berkacak pinggang.
“sayaaaang, kita kan bestfriend mana mungkin kita ninggalin loe, lagian loe juga sih selaluuuu menang kalo udah masalah cowok”, mulut zeva memang berbicara tapi tangannya mendarat di pipiku, memberiku sebuah cubitan diikuti oleh tangan vanya. Aku mulai melebarkan bibirku, tadi aku hanya berpura-pura.
“aduhh, mana gue tau sih kenapa tuh cowok-cowok pada nempel semua sama gue”, aku mulai tertawa mendengar ucapanku sendiri.
“gimana cowok-cowok nggak nempel sama loe, loe kan manis kayak gula”, vanya kembali mencubit pipiku dengan kedua tangannya.
“gimana nggak manis coba, namanya juga ‘miss lollipop’”, zeva memelankan suaranya ketika menyebut miss lollipop.
“sssstttttttt”, aku menyuruh zeva untuk diam. Aku memang menyukai lollipop, bahkan sangat menyukainya. Dimanapun dan kapanpun aku berada, lollipop tidak pernah terlupakan dia selalu ada di dalam tasku. Bagiku lollipop mempunyai makna yang sangat..sangat berarti. Lollipop juga yang membuat hidupku selalu manis. Tapi kalian semua harus diam, maksudku jangan pernah bilang siapapun kalau aku sangat menyukai lollipop. Hanya kedua sahabatku ini yang tahu kalau aku sangat menyukai lollipop. Bagaimana mungkin gadis sepertiku ini sangat menyukai lollipop, seperti anak kecil saja. Aku nggak mau kalau orang lain tahu tentang hal ini, mau di taruh dimana mukaku?padahal di sekolah ini aku mendapat predikat ‘miss jutek’ dari semua cowok walaupun mereka masih dengan sesuka hati menginginkanku sebagai pacar. Menurutku akan sangat tidak lucu kalau miss jutek yang mereka kenal selama ini ternyata mempunyai kesukaan seperti anak kecil. Mengemut-emut atau lebih tepatnya aku lebih suka menjilat-jilat lollipop. Bisa-bisa semua orang yang ada di sekolah ini tidak henti-hentinya mentertawakanku. Sebulan yang lalu saja Vina, cewek super gaul di sekolah ini menjadi bahan tertawaan semua orang di sekolah hanya karena dia masih suka minum susu dan dia ketahuan membawa susu putih di tasnya. Kalian memang nggak akan pernah mengerti apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan seseorang di sekolah ini. Mereka semua menganggap dirinya sudah dewasa sehingga selalu mentertawakan hal-hal yang berbau anak kecil.
“livi..”, suara seorang cowok membuat kami bertiga menoleh ke arah pintu kelas. Ray sudah menyunggingkan senyumnya untukku.
Semboyan andalan kami yang terakhir kali di ucapkan untukku tiga hari yang lalu sewaktu aku memutuskan edo dan jadian dengan vito, “MATI SATU TUMBUH SERIBU”, sekarang kembali di ucapkan untukku. zeva dan vanya tertawa-tawa setelah mengucapkannya dengan serempak. aku mengedipkan mata genit kepada mereka berdua kemudian menghampiri ray di pintu kelas. 
 
Aku terengah-engah setelah berlari memutari kompleks perumahanku selama dua jam. Kegiatan rutinku setiap akhir pekan, rutinitas yang tidak akan pernah aku tinggalkan. Aku harus tetap menjaga berat badanku agar tidak mengganggu penampilanku, aku memilih jogging karena hanya olahraga ini yang aku bisa.hahaha. aku memang tidak mempunyai bakat apapun di bidang olahraga. Aku berhenti sebentar untuk mengatur napasku yang terengah-engah. Di depan sebuah bangunan yang baru selesai di bangun, tepatnya di samping rumahku. Bangunan rumah ini cukup besar, dan sepertinya bangunan rumah ini sudah layak untuk di tempati. Aku jadi penasaran orang seperti apa yang nantinya akan menjadi tetanggaku.
“liviiiiii”, teriakan vanya membuatku kaget setengah mati. Dia hanya tersenyum-senyum sambil melambaikan tangan ke arahku.
“ada maksud dan tujuan apa nih loe dateng kesini?”, aku mencoba menyelidiki sesuatu di balik senyum manis vanya. Dia dan zeva memang tidak pernah punya waktu untuk berkunjung ke rumahku. Mereka lebih senang menghabiskan waktu di mall, café, dan tempat-tempat anak muda lainnya dari pada harus berdiam diri di rumah orang lain. Aku tahu pasti kalau dia punya maksud tertentu kalau datang ke sini.
“jangan gitu dong...gue kangen aja sama rumah loe…”, kalimat terakhir di ucapkannya dengan intonasi yang belum sempurna.
“terus?”
“terus…sekalian mau ngajak loe ke mall nyari tas-tas lucu”, senyum manisnya mencoba untuk merayuku.
“loe kan baru beli tas minggu kemarin honey”
“iya, tapi gue butuh tas baru buat nge-date sama gara”
“hmmm….gimana ya?”, aku berpura-pura berfikir.
“ayo lah cinta, temenin gue ya, ya viii”, vanya mulai merengek-rengek padaku. aku memang sangat suka menjahili vanya seperti ini. Seperti biasanya aku menahan tawaku melihat ekspresi wajah vanya saat mulai merengek-rengek.
“ada tawaran menariknya nggak nih?”
“gue beliin 5 lollipop yang gede buat loe”, vanya menunjukkan kelima jarinya di depan wajahku.
“gue mau”, pekikku girang. Sebenarnya aku tidak bermaksud untung meminta iming-iming tertentu hanya untuk menemani vanya membeli tas tapi kalau di tawarkan kenapa tidak.
“mau minum apa?”
“apa aja deh yang dingin”, jawab vanya sambil melemparkan tasnya di atas kasurku. Dia mulai merebahkan tubuhnya di kasur ketika aku keluar dari kamar untuk mengambilkan minum.
“ada tamu ya vi”, suara tante Belinda mengagetkanku.
“eh..tante kapan dateng?”, aku mencoba mengingat-ingat terakhir kali dia dateng ke sini membawakanku sebuah tas dari paris. Hari ini dia membawakan apa lagi untukku.
“tante nungguin kamu dari sejam yang lalu, tante beliin kamu jam tangan dari swiss”, tidak salah lagi, tante pasti membawakan sesuatu untukku setiap kali dia datang ke sini. Tante Belinda memang sangat menyayangiku seperti anaknya sendiri. Dia selalu menyempatkan datang untuk mengunjungiku setiap bulan di tengah kesibukannya.
“wow!!makasih tante”, aku memeluk tante Belinda saking senangnya.
“jamnya tante udah taruh di lemari kamu”
“tante nginep di sini ya?”, pintaku penuh harap.
“tante masih ada urusan sayaaang”, wajahnya terlihat sangat menyesal karena sudah mengecewakanku, “ada tetangga baru ya?”, tante Belinda mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku mengangkat kedua bahuku dengan lemas.
“tante dengar rumah di samping udah di tempatin, masa kamu sampai nggak tau sih ada tetangga baru”
“tante kayak nggak tau aja sih kalo kompleks ini tuh kuburan bertopeng perumahan”, aku menjawabnya dengan ketus. Aku memang sering menyebut kompleks perumahan ini dengan ‘kuburan bertopeng perumahan’, bagaimana tidak ku sebut kuburan kalau perumahan ini tidak pernah lepas dari kata sepi. Nggak pagi, nggak siang, nggak sore, perumahan ini selalu sepi dan senyap. Mungkin orang bisa mengira kalau kompleks perumahan ini tidak berpenghuni. Menyedihkan sekali orang-orang yang tinggal di kompleks perumahan seperti ini, yah termasuk diriku. Semua orang sibuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing tanpa pernah peduli dengan rumahnya sendiri. Rumah hanya sebagai tempat untuk mereka tidur, selebihnya tidak ada gunanya sama sekali. Seperti halnya aku, yang hanya bisa berdiam diri di rumah tanpa ada teman yang bisa aku ajak berbicara. Aku seperti tinggal di dalam kuburan, hanya ada aku sendiri. Mamah sudah meninggal dunia, hanya papah orang tua yang kupunya tapi dia selalu sibuk mengerjakan berbagai pekerjaannya entah apa itu. Dia tidak pernah melepas pekerjaannya hanya untuk bersantai-santai bersamaku. Selalu pulang larut malam dan dia pasti akan langsung tidur. Setiap pagi aku hanya bertemu sebentar dengannya karena aku harus berangkat sekolah sedangkan papah berangkat untuk bekerja kembali. Pekerjaan papah tidak pernah ada liburnya, hari minggu pun dia harus berkerja. Aku benar-benar seperti tinggal sendiri di rumah besar ini. Makanya aku akan sangat senang kalau tante Belinda mau menginap di sini.
“jangan sedih gitu dong, nanti cantiknya hilang tuh”
“aku nggak sedih kok, tante mau balik kapan?”
“tante balik sekarang, nggak papa kan?”, tante Belinda melirik jam di tangannya.
“nggak kok tante, lagian aku juga mau ke mall sama vanya”
“yaudah kalo gitu having fun ya”, satu kecupan di keningku mengakhiri jumpaku dengan tante Belinda.

my girl is my wife (bagian sebelas)

Dengan perasaan yang sangat bahagia, mungkin hari ini adalah hari paling bahagia yang pernah Holli alami. Bersama Awan bersamanya. Entah untuk keberapa kalinya Holli berada dalam pelukan Awan seperti ini. Tangan Holli melingkari leher Awan sementara tangan Awan menahan tubuh Holli. Dengan cepat Awan membuka kenop pintu kamar tanpa di sadari Holli karena mungkin tangan Awan tertutup gaun Holli saat sedang membuka pintu. Awan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, aroma bunga mawar tercium di hidung Holli saat masuk ke dalam kamar. Senyuman seakan tidak mau pergi dari wajah Holli dan juga Awan. Dada mereka sedang berdebar-debar bahagia. Awan mendorong pintu dengan kakinya hingga terdengar pintu tertutup dengan pelan.
“kau ingin aku mengunci pintunya?”, tanya Awan pada Holli dengan senyuman menggoda. “aku akan menguncinya”, Holli masih dalam pelukan Awan namun tangannya meraih kunci yang ada di kenop pintu, memutarnya beberapa kali sehingga terdengar bunyi klik. Selesai mengunci pintu, Holli kembali menautkan tangannya di leher Awan. Awan berbalik dari pintu, kini mereka bisa melihat kamar dengan utuh. Sebuah ranjang besar terletak di tengah ruangan kamar. Sebuah meja rias beserta bangkunya terletak di sisi kamar. Dengan lantai yang penuh dengan serpihan mawar merah. Awan melangkahkan kakinya perlahan di atas serpihan-serpihan mawar merah tersebut, lalu menurunkan Holli di bangku meja rias. Holli memandang dirinya di depan cermin, kegugupannya tidak bisa ditutupi oleh cermin namun tidak lepas dari kebahagiaannya. ‘Tidak akan ada lagi penderitaan setidaknya aku tidak sendiri lagi’, bisik Holli dalam hati. Awan membiarkan Holli duduk di hadapan meja rias sementara dirinya sibuk mengerjakan sesuatu. Holli memperhatikan apa yang sedang dilakukan Awan lewat cermin. Awan menyalakan lilin yang sudah terpasang di tempatnya masing-masing. Holli kembali melihat dirinya di dalam cermin, melepaskan perhiasan yang dikenakannya. Pertama-tama Holli melepaskan kalungnya lalu anting, mengingatkan Holli pada kejadian yang sama beberapa bulan yang lalu, saat Holli melepaskan perhiasannya dengan mengenakan gaun yang sama. Setidaknya sekarang dia tidak sendiri, dia bersama Awan. Holli memandang cincin pernikahan yang tersemat di jari manisnya, ketika ingin melepaskan cincin itu dari jarinya lampu menjadi padam digantikan oleh cahaya-cahaya lilin. Sebuah tangan menggapai tangan Holli yang ingin melepaskan cincin pernikahannya, “mulai hari ini cincin itu akan terus berada di sana”, suara Awan berbisik di telinga Holli.
Holli mengangguk pelan pada Awan, melihat Awan melalui cermin. Holli masih bisa melihat senyuman manis Awan di tengah kegelapan yang hanya disinari cahaya lilin, “apa kau menyukainya?”, tanya Awan pada Holli.
“apa?”, Holli balik bertanya.
Awan menunduk dan mendekatkan bibirnya ke telinga Holli, “bunga-bunga dan lilin ini”, bisik Awan. Holli mengangguk pelan, “aku menyukainya”
Kegugupan Holli semakin bertambah ketika Awan semakin merunduk mendekati leher Holli. Tangan Awan kini membelai lembut leher Holli, bibir lembut Awan mengecup leher Holli. Membelai lembut tengkuk Holli, Holli merasakan dirinya bergetar hebat namun menikmatinya.
Tangan Awan kini sudah berada di belakang gaun Holli, memegang risleting gaunnya. Awan berhenti disana, “boleh aku melanjutkannya?”, tanya Awan terdengar khawatir. Kekhawatirannya di jawab Holli dengan satu anggukan. Dengan perlahan Awan menanggalkan gaun pengantin yang dikenakan Holli. Dengan cepat Holli membalikkan tubunya menghadap Awan, tangan Holli meraih bahu Awan. Seketika itu juga Awan mengangkat tubuh Holli, menjatuhkan tubuh bersama di atas tempat tidur. Dada mereka berdebar-debar tidak karuan. Awan membelai lembut wajah Holli. Mengecup kening Holli lalu hidung Holli dan bergerak turun ke bibir Holli. Holli membiarkan Awan menguasainya malam ini, merasakan deru nafas hangat Awan di wajahnya. Awan mencium bibir Holli, namun Holli merasa ciuman mereka tidak seperti biasanya. Awan terkesan lebih bersemangat, mencium bibir Holli dengan lebih dalam. Sementara bibir mereka bersatu, dengan gerakan cepat Holli membuka satu persatu kancing baju Awan.
Awan tertawa pelan dalam ciuman mereka sementara tangan Holli terus bekerja, bergerak ke bawah hanya tinggal satu kancing lagi yang tersisa. Awan menjadi lebih bersemangat menekankan bibirnya pada bibir Holli.  Dengan cepat pula Holli meHHHhmbantu Awan melepaskan lengan bajunya. Awan melepaskan bibirnya beberapa saat untuk memandang Holli, sekarang tubuhnya sudah bertelanjang dada. Nafas mereka saling menderu.
“aku mencintaimu”, bisik Awan di tengah deru nafasnya. Awan kembali mengecup leher Holli. Holli menautkan lengannya ke bahu Awan, mencengkeramnya dengan erat. Holli bisa merasakan tangan Awan sedang berusaha melepaskan ikat pinggangnya lalu menurunkan risleting celananya. Awan semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Holli. Gerakan Awan maju mundur di atas tempat tidur, membuat Holli semakin erat mencengkeram bahu Awan yang berotot. Jari-jemari Holli menekan kuat di punggu Awan lalu bergerak turun, membelai lembut bekas luka pada pinggang Awan. Holli mengerang sambil menggigit bibir bawahnya, Awan menatap Holli dengan cemas. Dia berhenti dengan tersengal-sengal, “apa aku menyakitimu?”, bisik Awan. Holli tersenyum menatap Awan, tangannya memainkan anak rambut di kepala Awan. Holli menggeleng pelan, “lanjutkan saja”, jawab Holli. Holli memejamkan matanya, membiarkan Awan menyelesaikannya. 
Beberapa hari sebelumnya sepucuk surat sampai kepada Holli. Surat itu memberi kabar kalau Holli telah di terima sebuah universitas dengan jurusan ekonomi sementara Awan sudah pasti dengan jurusan bisnis. Mengenai Radit seminggu setelah Holli dan Awan menemui Shaila, Radit dengan di temani Shaila datang ke rumah Holli dan Awan. Radit sudah terlihat lebih baik, dia mulai menerima keadaan Holli dan Awan.
“bagaimana kabarmu?”, tanya Radit pada Holli.
Holli hanya tersenyum pada Radit dan menjawab dengan singkat, “baik”
“aku belum mengucapkan selamat atas pernikahan kalian”, ujar Radit lagi.
“aku juga minta maaf karena tidak bisa memberitahumu kalau kami sudah menikah”, jawab Holli. “dan mengenai perasaanmu padaku, aku benar-benar minta maaf. Aku sudah menganggapmu sebagai sahabat”, kata Holli dengan perasaan bersalah. Di samping Holli, Awan menggenggam tangan Holli.
Radit tertawa mendengar perkataan Holli, “aku akan berusaha melupakannya dan memulai lagi dengan Shaila”, ujar Radit dengan wajah cerahnya. Shaila tersenyum malu di samping Radit.
“walaupun kau masih menyukai Holli, aku akan menunggu sampai kau bisa melupakan Holli kembali”, ujar Shaila pada Radit.
Radit menggeleng, “aku tidak menyadari kalau selama ini kau yang selalu di sampingku”
“kau ini terlalu bodoh, tidak melihat seseorang yang dekat denganmu sedang memperhatikanmu”, ledek Awan pada Radit, “tentu saja aku tidak akan membiarkan Holli denganmu sementara sahabatnya sendiri menyukaimu”
Radit mengangkat sebelah alisnya pada Awan, “jadi selama ini kau tahu kalau Shaila menyukaiku?”
Awan mengangkat kedua bahunya, “kau hanya harus melihat matanya”, Awan mengarahkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke mata Radit kemudian dia tertawa.
Radit menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “selama ini aku seperti seorang idiot yang selalu memperingatkanmu untuk tidak menyukai Holli sementara kau adalah suaminya”, Radit tertawa malu pada dirinya sendiri. Serentak semuanya tertawa melihat Radit.
“saat itu aku hanya bisa diam karena aku sendiri belum mengerti bagaimana perasaanku pada Holli”, Awan merangkul Holli. “kalian harus segera menyusul kami untuk menikah”, ujar Awan sambil tersenyum menggoda pada Holli.
Radit dan Shaila menggeleng bersamaan, “tidak”, ujar mereka.
“kami belum siap untuk ke sana, lagipula kami masih terlalu muda lebih baik menyelesaikan kuliah dulu”, jawab Radit.
Holli menyenggol Awan dengan sikunya, “jangan dengarkan perkataan Awan. Lagipula pernikahan kami terjadi karena kami dipaksa untuk menikah”, jawab Holli dengan cepat.
Awan mengerutkan keningnya pada Holli, “jadi sebenarnya kau ini menyesal menikah denganku?”, selidik Awan pada Holli dengan tatapan sedih. Holli tersenyum melihat ekspresi wajah Awan, “awalnya aku memang tidak ingin menikah denganmu tapi aku tidak akan pernah menyesalinya”, jawab Holli pada Awan.
“sepertinya kalian sangat bahagia”, sela Shaila pada Holli dan Awan.
“sudah ku bilang, kalian harus segera menyusul kami. Karena menikah tidak serumit yang kalian bayangkan”, ujar Awan lagi mencoba merayu Shaila dan Radit.
Shaila hanya tersenyum pada Awan dan Holli, “apa kalian tidak ingin punya anak?”
Pertanyaan Shaila membuat Holli terdiam seribu bahasa. Dia bahkan tidak pernah berfikir untuk memiliki seorang anak. Wajah Holli pasti sudah bersemu merah merona sekarang. Awan melirik Holli yang terdiam, tersenyum melihat kegugupan Holli. “lihatlah wajahmu seperti kepiting rebus sekarang”, goda Awan pada Holli.
Awan tertawa geli pada Holli dan Shaila, “aku bahkan belum pernah menyentuh tubuhnya”
“kami menikah muda, jadi ada sebuah perjanjian yang dibuat oleh orang tua kami”, jelas Holli. Shaila dan Radit mengangguk mendengar perkataan Holli.
Di samping Holli, Awan berdehem dan berkata dengan hati-hati, “tapi, apakah kau tidak ingin punya seorang anak?”. Holli menjawab Awan dengan menyenggol pinggang Awan dengan sikunya dengan kuat sehingga Awan kesakitan.
Awan cemberut pada Holli, “kurasa dengan mencintaimu saja sudah cukup”, gumamnya pelan sambil menggerutu pada Holli.
Awan merogoh saku celananya, mengambil dua buah tiket dari dalamnya. Awan menyodorkan tiket itu pada Radit dan Shaila, “aku dan Holli tidak ingin menggunakan tiket ini, daripada di buang begitu saja lebih baik kalian yang menggunakannya”
“tiket apa ini?”, tanya Radit bingung.
“itu tiket pesawat untuk ke paris sebenarnya itu adalah perjalanan bulan madu kami, tapi jika kalian ingin menggunakannya kami akan segera memesankan dua kamar hotel untuk kalian selama berada di sana”, jawab Awan.
Shaila menggeleng pada Awan, “tidak mungkin, bagaimana bisa kalian memberikan tiket itu pada kami”
“aku dan Holli tidak ingin pergi ke sana, anggap saja ini sebagai permintaan maaf kami untuk kalian terutama permintaan maaf Holli pada kalian”, jawab Awan.
“kalian tidak perlu meminta maaf pada kami”, ujar Radit. Holli menggeleng, “kalian ini sahabatku tapi selama ini aku sudah membohongi kalian mengenai Awan, anggap saja ini permintaan maafku lagi pula aku tidak pernah memberikan apapun pada kalian”, paksa Holli pada Radit dan Shaila. Dengan berat hati akhirnya mereka mengambil tiket yang diberikan Awan pada mereka.
Satu masalah sudah terselesaikan. Mengenai Hana dan Helena, Holli tidak perlu khawatir lagi tentang mereka. Setelah kejadian Awan dan ayah Bagas mengambil Holli dengan cara memadamkan lampu dengan bantuan beberapa pesuruh, mereka tidak akan berani lagi menggangu Holli. Semenjak kejadian tersebut, Holli jadi lebih mengetahui bahwa ayahnya juga sangat menyayanginya. Seperti yang pernah Awan katakan pada Holli, jangan ada lagi kebencian. Holli tidak akan lagi membenci orang lain apalagi ayahnya sendiri. Ayahnya memang salah karena sudah membiarkan Holli menderita namun jauh di dalam hatinya dia sangat menyayangi Holli. Kesalahan fatalnya adalah ketakutannya akan Helena. Atau mungkin ayah Rudi juga memikirkan perasaan anak-anak nya bersama Helena. Tidak ingin mereka kecewa padanya.
Holli memang tidak ingin mengganggu ayahnya beserta keluarganya. Holli hanya butuh kasih sayang darinya namun sekarang Holli juga mengerti. Holli tidak akan lagi mempersalahkan kasih sayang ayahnya padanya. Holli merelakan ayahnya untuk lebih memperhatikan keluarganya sekarang. Lagipula ayah Bagas sudah cukup untuk Holli dan Awan tidak akan pernah membiarkan Holli kekurangan kasih sayang.
“aku bahkan bisa menjadi ayah untukmu”, ujar Awan pada Holli, “yang selalu melindungi dan menjagamu”
Holli membalas Awan dengan senmyuman, Holli percaya pada Awan bahkan tanpa Awan mengatakannya Holli percaya Awan akan selalu bisa menjaganya, “aku juga bisa menjadi ibu untukmu”, sahut Holli, “yang memberikanmu kenyamanan”
Awan menggeleng pada Holli, “kau tidak perlu menjadi ibuku”
Holli mengerutkan dahinya pada Awan.
Awan tersenyum manis pada Holli, “hanya perlu menjadi istriku maka aku akan bahagia selamanya”
“aku memang istrimu”, gerutu Holli pada Awan.
Awan kembali menggeleng pada Holli, “Holli, maukah kau mengulangnya lagi bersamaku?”
Holli terdiam.
Hari telah berganti hari. Hari paling bersejarah dalam Holli akhirnya bisa dirasakannya. Holli bergetar dalam duduknya. Mobil melaju dengan cepat seiring detak jantungnya. Dia hanya duduk sendiri di dalam mobil. Tanpa Awan. Tidak tahu ke mana pak Halim akan membawanya. Kegelapan membuatnya hampir mati penasaran. Holli benar-benar tidak tahu arah perjalanan, sedikit pun dia tidak bisa mengintip dari penutup matanya. Tidak ada celah sama sekali. Holli ingin sekali membuka penutup matanya. Berulang-ulang kali tangannya memegang penutup mata itu, namun Holli selalu menurunkan tangannya kembali. Tidak ingin merusak kejutan untuknya. Holli yakin setelah ini akan ada sesuatu yang istimewa untuknya. Setelah beberapa lama perjalanan, Holli tidak lagi mendengar bising jalanan. Mesin mobil telah berhenti.
Seseorang membukakan pintu mobil. Hembusan angin berebut masuk ke dalam mobil, membelai rambut Holli dengan sedikit kasar. Holli mencoba menghirup udara segar di sekelilingnya.
Terdengar suara pak Halim, “non bisa keluar dari mobil”, ujarnya. Pak Halim meraih tangan Holli, membantu Holli keluar dari mobil. Namun mata Holli tertutup sehingga tidak sengaja Holli menginjak gaunnya. Holli hampir saja kehilangan keseimbangan sebelum akhirnya pak Halim menahannya.
“maaf non, saya akan membukakan penutup matanya”, ujar pak Halim lagi. Holli mengangguk. Pak Halim membuka ikatan penutup mata yang terpasang pada Holli. Mata Holli masih berusaha mengerjap-ngerjap mencoba untuk menghilangkan kegelapan beberapa saat yang lalu saat penutup mata menghalangi pandangannya. Beberapa detik kemudian Holli bisa melihat cahaya matahari yang masuk ke dalam matanya. Yang membuatnya sangat terkejut adalah beberapa pasang mata tengah memperhatikannya. Holli mengenali beberapa di antara mereka. Teman-temannya, kedua ayahnya dan masih banyak lagi yang mungkin mereka adalah teman Awan. Mereka semua tersenyum ramah pada Holli. Mereka semua menyisihkan jalan setepak untuk Holli lewati, di ujung jalan sana terhampar air pantai dengan ombak-ombak kecil dan Holli bisa melihat Awan tersenyum manis padanya di tepi pantai. Menunggu Holli untuk menghampirinya.
Dua orang menyodorkan tangan mereka pada Holli di sisi kanan dan kiri Holli. Holli bahkan tidak sadar kalau Radit dan Shaila sudah berada di sampingnya. Mereka juga tersenyum pada Holli. Shaila mengangkat kedua alisnya, memberi kode pada Holli untuk segera menyambut tangan mereka. Holli tersenyum kikuk lalu memberikan tangan kanannya pada Radit dan tangan kirinya pada Shaila. Mereka membawa Holli menghampiri Awan. Sepanjang perjalanannya menghampiri Awan beberapa orang menebarkan serpihan-serpihan mawar merah pada Holli. Holli memandangi pasir-pasir putih yang di lewatinya, melihat ke sekeliling dan tersadar bahwa ini adalah pantai yang sama. Pantai di mana Awan membawanya selesai acara pernikahan. Dan sekarang Holli juga mengenakan gaun pernikahannya.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi Holli menghampiri Awan. Kalau tidak melihat pada banyaknya orang yang hadir, mungkin Holli sudah berlari menghampiri Awan. Holli berhenti melangkah satu langkah di hadapan Awan. Jantungnya berdegup cepat. Kegugupan melandanya. Radit dan Shaila menyerahkan kedua telapak tangan Holli pada Awan. Awan menyambutnya dengan senang. Dengan senyuman yang mengembang di wajah Awan, semakin memperlihatkan kebahagiaan Awan. Awan menggenggam erat tangan Holli, mengecupnya dengan lembut. Kemudian matanya menatap Holli, “sekarang aku bisa melihatmu sebagai seorang pengantin perempuanku”, ujar Awan.
“aku juga bisa melihatmu sebagai pengantin priaku”, sahut Holli pada Awan.
“Holli, kita sudah menikah jadi aku tidak bisa mengulang pernikahan kita”, ujar Awan, “tapi aku belum pernah melamarmu”, bisik Awan.
Holli tidak bisa berkata apapun pada Awan, bibirnya seolah kelu. Sementara jantungnya tidak juga berdetak dengan teratur. Meskipun Holli merasa sangat bahagia.
Awan berlutut di hadapan Holli lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil kini ada di tangan Awan. Dengan perlahan Awan membukanya, mengambil cincin pernikahan mereka dari dalamnya. Kemudian meraih tangan kiri Holli, “Holli Cintya, bersediakah kau menjadi istriku?menemaniku selama sisa hidupku?tidak peduli apapun yang terjadi padaku, maukah kau untuk terus selalu di sisiku?”, ujar Awan pada Holli. Holli menarik nafas dalam namun belum sempat Holli menjawab Awan kembali bertanya.
“Holli, will you be my wife?”, ujar Awan pada Holli. Dengan perasaan gembira Holli mengangguk pada Awan, Holli bahkan tidak bisa lagi menyembunyikan senyumnya pada Awan. Awan menyematkan cincin itu di jari manis Holli. Setelah memasangkan cincin itu di jari Holli, Awan bangkit.
“I love you”, tangan Awan kini berada di tubuh Holli, mendekatkan Holli padanya. Awan mempertemukan bibirnya dengan Holli. Menyapanya dengan lembut. Gemuruh tepukan tangan mulai terdengar.
“I love you too”, sahut Holli ketika bibir Awan terlepas dari bibirnya. Kemudian Awan memeluk Holli dan berbisik, “terimakasih”
Suara sorakan dan deburan ombak terdengar menyatu di telinga Holli. Awan melepaskan pelukannya dari Holli.  Senyuman menghilang dari wajah Awan, “ada satu hal yang ingin aku katakan padamu”, ujar Awan terlihat serius. Holli mengerutkan keningnya melihat perubahan pada raut wajah Awan.
“ini sebuah perjanjian, walaupun bukan perjanjian tertulis namun perjanjian tetaplah sebuah perjanjian”, kata Awan dengan tegas pada Holli. Holli terdiam. Sepertinya Awan sangat serius sekali dengan apa yang dikatakannya.
Awan meletakkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celananya, “berjanjilah untuk selalu membagi kesedihanmu denganku”, jelas Awan. Senyuman kembali mengembang di wajahnya. Holli kembali tersenyum dan mengangguk pada Awan.
“untuk perjanjian ini, jangan coba-coba untuk mengingkarinya”, bisik Awan pelan di telinga Holli.
Kemudian Awan merogoh kembali saku celananya, mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya, “dan untuk perjanjian ini”, ujar Awan.
Mata Awan kini melirik Holli dengan jahil, “aku sudah membicarakannya dengan ayah”, potong Awan dengan suara pelan sambil mengangguk pada Holli lalu melanjutkan lagi dengan suara yang lebih keras, “mulai detik ini dibatalkan”, ujar Awan dengan senang. Awan melambai-lambaikan kertas itu pada Holli. Kertas yang berisi perjanjian hubungan suami-istri. Perjanjian yang dibuat oleh kedua ayah mereka. Dengan cepat Awan merobeknya menjadi potongan-potongan kecil. Selesai pada robekan terakhir, Awan mengedipkan sebelah matanya pada Holli. Holli hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Dengan gerakan secepat kilat, Awan mengangkat Holli dari atas pasir pantai. Wajah Holli terlihat kaget sekali mendapati tubuhnya sudah berada dalam pelukan Awan. “apa yang akan kau lakukan?”, ujar Holli dengan bingung.
“menunjukkan hadiah pernikahan untukmu”, sahut Awan. Awan berjalan sepanjang tepi pantai, membiarkan ombak-ombak membasahi celananya dan sepatunya. Mereka berjalan meninggalkan para sahabat dan kerabat mereka.
“apa kau menyukainya?”, tanya Awan ketika mereka berhenti. Beberapa meter dari tepi pantai berdiri sebuah cottage yang cukup besar dengan dinding bercat putih. Terlihat sangat cantik dengan letaknya yang strategis.
Holli menatap Awan. Mengangkat kedua alisnya.
“aku membelinya untukmu”, jawab Awan tanpa Holli bertanya.
Holli menelengkan kepalanya pada Awan, “lalu?”
Awan mengangkat kedua bahunya pada Holli, “kita akan berbulan madu di sini”, Awan berkata dengan cuek pada Holli.
“Awan, aku masih ingin kuliah”, ujar Holli.
Awan menjawab dengan singkat, “aku tahu”
“aku belum siap untuk mempunyai anak”, kilah Holli lagi.
Awan mengangguk, “aku juga tahu”
Holli terlihat bingung pada Awan, “lalu?”
“apa kau percaya padaku?”, tanya Awan pada Holli. Holli mengangguk perlahan. “kau tidak akan hamil, percayalah aku sudah mempelajarinya”, bisik Awan sambil mengedipkan matanya pada Holli.
Holli menelan ludahnya mendengar perkataan Awan. Kemudian mereka tertawa bersama. Bersamaan dengan langkah Awan saat memasuki cottage, Holli tahu hidupnya sudah berubah. Mulai sekarang. 


The End.