Bagian 1
‘apakah sesulit itu untuk mengatakan cinta?’
Aku-Kamu-Dia
Aku terlalu
tergesa-gesa untuk memaksa. Memaksa hatiku. Untuk memilih. Memilih sesuatu yang
tidak seharusnya untuk dipilih. Dan apakah sekarang aku menyesal? Untuk apa?
Apakah aku menyesal untuk sebuah kebisuan? Ataukah menyesal untuk sebuah penantian
yang aku pikir tidak akan pernah berujung? Atau mungkinkah aku harus menyesali
kehadirannya?
Aku berada
di sampingmu. Tapi aku tahu, pikiranku tidak berada bersama ragaku. Selalu
seperti itu jika aku berada bersamamu. Aku selalu ingin melarikan diri. Bukan
karena dirimu, tapi karena diriku. Aku tidak pernah melakukan kejahatan apapun
sebelumnya. Tapi sejak aku memutuskan untuk bersamamu, aku telah melakukan kejahatan
terbesar dalam hidupku. Aku membunuh perasaanku sendiri. Aku penipu ulung yang
telah menipu perasaanmu terhadapku. Dan aku melakukan penyiksaan secara
diam-diam terhadapnya.
“ada
apa?”
Terkadang
aku memang terlalu baik untuk sebuah sandiwara tapi selalu saja ada celah yang
bisa membuatku tertangkap. Mungkin kamu memang sudah seharusnya mencurigaiku. Aku
ingin sekali jujur dan membongkar penyamaranku selama ini padamu.
“tidak”,
setiap kali mulutku terbuka, semua hanya kata-kata yang penuh dengan penyangkalan.
Satu-satunya hal yang semakin terasah dari diriku. Kelihaianku untuk berbohong.
Berbohong pada diriku sendiri. Berbohong pada dirimu. Dan berbohong pada
dirinya.
Aku
terperangkap. Terperangkap oleh jebakan yang kubuat sendiri. Dan yang lebih menyedihkannya
lagi, jebakan itu sengaja kubuat untuk diriku sendiri. Dari awal aku memang
bukan seorang penjahat. Aku membiarkan diriku sendiri yang terperangkap agar
tidak ada orang lain yang terjatuh. Tapi ternyata aku salah. Semuanya menjadi
kacau. Aku memang terperangkap jebakanku sendiri tapi aku tidak pernah berpikir
bahwa aku membawa rantai. Rantai yang menghubungkanku padamu. Juga rantai yang
menghubungkanku dengannya..
Apakah
mungkin kamu tidak menyadari bahwa kamu telah terjebak?
Apakah
mungkin dia belum menyadari bahwa dirinya yang terperosok, terjatuh, dan
terluka lebih dalam di antara rantai yang mengikat aku-kamu-dia?
Entah
untuk yang keberapa kalinya aku meneteskan air mataku. Karena kebodohanku. Dan
juga karena kebisuannya. Aku tidak ingin lagi menyakiti siapapun. Tidak kamu.
Tidak dia. Juga tidak diriku sendiri.
Kamu
hanya tersenyum di sampingku. Aku tahu kamu tidak pernah menipuku. Kamu adalah
orang baik. Dan terlebih dari semua itu, kamu adalah seorang pria yang bertanggung
jawab dan jujur. Karena hal itulah aku bersamamu saat ini.
Karena
kejujuranmu yang mengatakan bahwa kamu mencintaiku. Terlebih dari itu, aku menyukai
keberanianmu untuk mengungkapkan perasaanmu. Tidak hanya sekali. Aku
mendengarmu berkali-kali mengatakannya. Berusaha untuk memantapkan aku agar
berada di sisimu.
Untuk
bisa bersamamu, bahkan aku harus mengabaikan hatiku. Aku harus memantapkan
hatiku untuk meninggalkan Dia.
Kali
ini aku tidak lagi berbohong. Aku menyukai Dia meskipun aku juga merasa nyaman
saat bersamamu. Tapi aku lebih menyukai Dia. Menyukai sikapnya selama ini
kepadaku.
------------
Saat
itu hujan turun dengan deras. Aku masih berada di kampus sementara jam kuliahku
sudah selesai. Aku tidak bisa langsung pulang karena tidak membawa payung. Aku
keluar dari gedung fakultas bersama teman-temanku.
Dia
membuatku terkejut. Dengan sebuah payung yang ada di tangannya, dia bersandar
di dinding. Mendekatkan dirinya serapat mungkin pada dinding agar tidak terkena
cipratan air hujan. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Atau kenapa dia
berada di sini? karena ini bukanlah fakultasnya..
Aku
menelan ludah. Mengingat beberapa menit yang lalu aku memberitahunya bahwa aku
tidak bisa pulang karena hujan. Dan sekarang, dia berada di sini. Dengan sebuah
payung di tangannya.
Dia
menoleh dan melihatku. Kupaksakan senyumku padanya. “sedang apa?”, tanyaku
berbasa-basi. Dia terdiam. Tapi kemudian tersenyum.
“mau
pulang?”, tanyanya padaku dengan ramah, memainkan payung yang sedang dipegangnya.
Dengan
cepat aku menggeleng dan mengatakan akan menunggu hujan hingga reda. Kemudian
aku kembali beralih pada teman-temanku. Dia tidak mengatakan apapun lagi. Namun
masih tetap berdiri di sana. Dengan sebuah payung di tangannya. Yang bahkan tidak
digunakan untuk dirinya sendiri. Dia sedang menunggu. Entah apa yang sedang
ditunggunya.
Sudah
hampir satu jam berlalu. Hujan tidak kunjung reda. Aku terlalu asyik bersenda
gurau dengan beberapa teman. Tapi dia masih tetap diam. Menunggu. Dengan sebuah
payung yang masih berada di tangannya.
Tiba-tiba,
seorang senior menghampiriku. Bertanya ini dan itu padaku. Lalu bertanya kenapa
aku tidak juga pulang. Sampai akhirnya kami membicarakan Dia. Senior itu
mengatakan bahwa Dia telah meminjam payung padanya. Entah untuk apa. Seperti
untuk sesuatu yang penting. Tapi sekarang, Dia hanya berada di sana. Berdiam
diri. Membiarkan payung itu tetap di tangannya namun tidak digunakannya.
Aku
menelan ludah lagi. Aku berpura-pura tidak tahu. Bahwa Dia… menungguku.
Tapi
aku berlari. Berlari menerobos hujan yang tinggal rintik-rintik. Meninggalkan
dia yang masih berdiri di sana. Dengan payung di tangannya. Menatap
kepergianku. Aku sudah berlari, dan tidak ingin menoleh kembali. Membiarkan air
hujan membasahiku. Mengusir penyesalan yang datang secara tiba-tiba. Aku memang
bodoh. Aku bahkan tidak tahu caranya menghadapi seorang pria. Tidak tahu
bagaimana menerima sebuah ‘perhatian kecil’ dari seseorang dengan sebuah payung
pinjaman di tangannya.
Aku
bahkan tidak bisa melupakan kejadian kecil itu. Atau mungkin kejadian lucu yang
aku alami bersama Dia. Aku tahu kalau aku memang sedikit pemalu. Tapi aku tidak
tahu apakah dia memang pemalu atau tidak. Apakah kami berdua sama-sama pemalu?
Aku
dan Dia berada di satu ruangan yang sama. Ada banyak orang dalam ruangan itu. Aku
mencoba mengalihkan perhatianku pada sesuatu yang lain. Tapi aku tahu, ada
sepasang mata yang sedang memperhatikan setiap gerak-gerikku. Sepasang mata
milik Dia. Aku tidak mengerti kenapa Dia melakukan itu padaku. Aku menjadi
tidak bisa tenang karena jantungku ikut bereaksi karena tatapan yang
diberikannya padaku.
Perhatianku
kembali teralih pada ponselku ketika ada sebuah pesan singkat yang masuk. Pesan
singkat dari Dia. Aku harus bisa menahan senyumku agar tidak ada yang melihat. Kami
masih di dalam satu ruangan, tapi Dia memilih untuk memberikanku pesan singkat
yang tidak cukup penting. Hanya sekedar berbasa-basi. Aku mencuri pandang.
Mencoba melihat Dia. Tapi Dia sudah tidak ada di tempatnya semula. Hanya
punggungnya yang terlihat bergegas dengan cepat meninggalkan ruangan. Sekarang
aku tahu. Dia seorang pemalu.
Dia,
yang tanpa kuminta selalu ada di sampingku. Membantuku tanpa aku meminta
padanya. Tidak peduli dia sedang apa. Tidak peduli dia ada di mana. Tidak
peduli apapun yang sedang terjadi padanya. Dia selalu ada di saat aku
membutuhkan sebuah bantuan.
Beberapa
kali juga Dia sempat mengajakku keluar untuk sekedar makan malam bersamanya. Setiap
kali itu juga aku menjadi seseorang yang bodoh. Bagaimana bisa aku berharap dia
akan mengatakan sesuatu padaku. Karena dia tidak pernah mengatakan sesuatu yang
aku harapkan.
Tapi
hari itu, aku ingin sekali menangis. Aku merasa tertipu oleh Dia. Tertipu
dengan segala kebaikannya padaku. Dia yang aku kagumi, selalu bersikap baik
pada semua orang. Dadaku sesak. Mungkin aku terlalu berharap banyak padanya.
Dia
bukan manusia yang mudah untuk ditebak. Lebih sulit menemukan jawaban dari Dia
dibandingkan menyelesaikan sebuah soal kalkulus yang tersulit sekalipun. Bagiku
dia hanyalah seseorang yang penuh dengan pertanyaan. Dia menutup dirinya
terlalu rapat, sehingga aku sulit untuk menemukan celah untuk mencari tahu apa
yang dia pikirkan. Mencari tahu apa yang Dia rasakan. Mencari tahu … mengapa
dia mempermainkan perasaanku.
Maka
dari itu, aku telah memutuskan.
Tapi
kenapa… dadaku sakit sekali.
“Dia
mencintaimu”, seseorang mengatakan hal yang hampir membuat seluruh tulang
kakiku bagai remuk dalam sekejap. Hanya sebuah pengandaian yang terbersit dalam
hati. Sekarang rasanya semua sudah terlambat…
Bahwa
aku..
Tidak
akan bisa melepaskan rantai yang telah menjeratku..
Rantai
yang telah disimpul mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar