Bagian 2
Aku
dan Dia.
“aku mencintaimu”
Satu detik yang bagai sihir mampu
membuatnya menoleh padaku. Menatapku dengan penuh penyesalan. Tangannya secara
perlahan menyelinap di belakangku. Tepat di punggungku. Masih menggantung di
sana. Jauh dalam hatinya, aku tahu dia ingin sekali merengkuhku. Namun dia
mengabaikan keinginannya. Hanya kedua bibirnya yang terangkat.
“cinta manusia.. hanya Tuhan yang
menentukan. Jika Tuhan berkehendak, percayalah kau akan kembali padaku. Pada
saat itu.. maka bukan lagi aku yang membisu. Tapi waktu..”
Aku
dan dia mungkin tidak akan pernah menjadi satu. Atau mungkin rasanya sangat
sulit sekali. Egoku terlalu besar. Dan Dia… entah bagaimana dia bertindak dan
berpikir. Aku tidak bisa merabanya sedikitpun. Hanya satu yang aku tahu. Hatiku
telah menyimpan dirinya di tempat yang paling istimewa. Meski aku tahu bahwa
untuk bersamanya adalah hal yang tidak mungkin. Karena ada sekat, yang tanpa
sadar telah kubangun di antara aku dan dia.
Mungkin
cinta bukanlah hanya getaran detak jantung yang berpacu cepat. Dibalik
kegugupanku, ada kenyamanan yang tercipta setiap kali dia berada di dekatku. Tapi
untuk sekarang, aku tidak akan mungkin untuk melihat matanya ataupun menatap
wajahnya. Sepertinya dia pun melakukan hal yang sama. Tapi mungkin alasan kami
tidak saling bertatapan adalah bukan alasan yang sama.
Dia
terlalu baik untukku. Tapi dengan jahatnya, aku telah menyakitinya. Aku
jelas-jelas menusuk dirinya dari belakang. Tidak ku sangka, aku telah
melukainya tanpa dia tahu. Aku ingin sekali jujur padanya, tapi setiap kali
mulutku terbuka hanya hembusan angin saja yang keluar. Karena itu, aku merasa
tidak pantas untuk menatapnya.
Bagaimana
dengan dia? Entahlah. Dia adalah sebuah teka-teki. Meskipun aku mengetahui
sesuatu dengan jelas. Alasan kenapa dia tidak menatap wajahku. Alasan kenapa
dia selalu bersembunyi di balik semua kebaikannya. Karena dia… seorang
pengecut. Aku benci mengatakannya, tapi dia memang seorang yang pengecut. Aku
ingin sekali memakinya karena alasan itu, tapi mungkin tidak akan pernah
kulakukan. Aku terlalu menghormatinya.
“apa
kau pernah merasakan jatuh cinta?”, ucapnya dengan lembut.
Deg. Jantungku
seakan ingin melompat keluar dari persembunyiannya.
“mencintai
seseorang”, katanya lagi.
“namun
kau tidak bisa mengungkapkannya”
Mataku
sudah berkaca-kaca ketika dia mengatakan kata-kata terakhirnya. Apakah dia
hanya sedang berusaha untuk menjebakku? Menjebakku dengan apa yang dikatakannya
ini? Bagaimana mungkin dia bisa berkata seperti itu padaku?
Haruskah
aku yang mengatakan padanya.
Bahwa
aku … mencintainya.
Ku
seka mataku yang masih kering. Bila sampai aku harus mati sesak karena menahan
nafas, daripada aku meneteskan air mataku walau setetes. Aku mencintainya. Begitupun
dengannya, aku tahu dia juga mencintaiku. Meskipun hingga saat ini, dia hanya
mencintaiku dalam kebisuannya.
Aku
menghirup sedikit oksigen dan berusaha untuk menahan nafas sebelum aku angkat
bicara, “kalau begitu ungkapkan”
“apakah
begitu sulit untuk mengungkapkannya?”, kataku padanya. Satu tanganku meremas
ujung bajuku. Aku tidak akan bisa bertahan pada percakapan omong kosong ini
jika bukan untuk sebuah alasan. Alasan untuk mendapatkan sebuah penjelasan atas
sebuah rasa yang ada di antara aku dan dia.
“Ya”,
jawabnya. Suaranya tegas dan mantap. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam
suaranya.
“kenapa?”,
kataku pelan.
“karena
sudah terlalu lama rasa itu terpendam”, katanya lagi. Suara tegasnya
menghilang. Wajahnya tertunduk.
“kenapa
tidak diungkapkan?”, kataku seolah mempertegas kembali pertanyaanku padanya. Berusaha
mencecar kebisuannya selama ini.
Aku
terdiam sejenak, “perasaan tidak bisa terus dipenjara dalam hati, pada akhirnya
ia harus diungkapkan”
Kata-kata
itu muncul begitu saja tanpa kusadari.
“pada
akhirnya orang yang kita cintai hanya akan menjadi milik orang lain”, katanya
sendu. Dadaku sesak, seakan ingin memuntahkan apa yang tertekan di dalamnya. Kerongkonganku
seakan kering dalam sekejap. Semua air mata seakan telah menggumul dipelupuk
mata. Dia seolah akan menusukku dari depan. Tepat di depan mataku. Aku… ya, aku
dan semua perasaan bersalahku padanya. Tubuhku gemetar seketika.
Dia tersenyum
simpul. Entah apa yang membuat bibirnya sedikit terangkat, menunjukkan senyuman
yang mengerikan. “mungkin aku terlalu munafik”, ujarnya pada diri sendiri.
“aku
menyukai gadis itu.. tapi di sisi lain agama melarang”
Aku
semakin tertunduk dalam. Tolong, hentikan semua perkataan itu. Aku tidak ingin
mendengarnya lagi, jeritku dalam hati.
‘aku
hanya ingin mendengar dia mengatakan ‘aku mencintaimu’’, hati kecilku ikut
berbicara.
Apakah
aku terlalu egois? Terperangkapkah aku oleh sebuah nafsu beratas namakan cinta?
“bukankah
Allah menitipkan rasa cinta di hati setiap manusia? Untuk saling mencintai?”, dengar
saja, begitu lihainya aku berkelit. Melampiaskan luka hatiku.
“jika
hanya dosa yang menjadi jawaban, lebih baik cinta tidak perlu diungkapkan. Bahkan
tanpa diungkapkan, cinta bisa menjerat manusia sebagai tali setan”,
Runtuh
sudah pertahanan yang susah payah kubuat. Air mata mengalir deras membasahi
pipiku, berjatuhan dan meresap diatas rokku saat terjatuh. Aku salah menilai. Ternyata
dialah seseorang yang sesungguhnya. Tapi aku.. memilih orang lain.
“abah
berpesan..”, katanya. Dia mendengar isak tangisku, tapi dia tetap melanjutkan
bicaranya tanpa menoleh padaku.
“seorang
pria harus bisa bertanggung jawab. Berusahalah untuk bertanggung jawab pada
diri sendiri sebelum mengambil tanggung jawab pada orang lain sebagai seorang pria
dewasa”, pikirannya seolah menerobos ruang dan waktu. Dia seakan tidak sedang
berada di sampingku ketika dia mengatakan perkataan itu.
Aku
menggeleng. Setiap detik menghapus air mata yang tak kunjung berhenti dengan
punggung tanganku. Isakan tangisku semakin terdengar.
“berhenti!!!”,
suaraku terdengar parau. Kututup kedua alat pendengaranku dengan telapak
tangan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya membuat rasa penyesalanku
menggunung. Dan dia seolah sedang menyeret paksa tubuhku dari pertengahan
gunung menuju puncak penyesalan yang lebih tinggi.
Aku
harus mengakhiri semua sandiwara yang sudah kubuat. Aku harus mengakhiri kejahatanku
padanya. Dia… tidak seharusnya terluka. Karena aku.
“semua
yang kau katakan benar”, kataku dengan perasaan tertekan.
“jika
memang cinta adalah waktu. Maka semua sudah terlambat..”, perlahan aku
menurunkan telapak tanganku dari telingaku.
Aku
berusaha untuk tetap tegar, mengakui kebenaran yang selama ini kusembunyikan. Semata-mata
untuk menjaga perasaannya walau pada kenyataannya aku justru hanya melukainya
lebih dalam.
“aku…
sudah menjadi milik orang lain”
Sunyi.
Dia membisu.
Bukan kebisuan yang seperti biasanya. Dia membisu dalam duka. Dia membisu
menahan sakit. Otot-ototnya menegang. Nafasnya tercekat. Kedua matanya memerah.
Aku
melakukannya. Memanggil hatinya dari tempat persembunyiannya. Lalu sedikit demi
sedikit aku membuat lubang kasat mata di sana. Dan sekarang, aku telah membuka
tabir yang selama ini menutupi lubang besar yang kubuat di hatinya. Menghempaskannya
kembali di tempat persembunyiannya yang gelap.
Aku
tidak pernah pantas lagi untuk menunjukkan wajahku di hadapannya. Ku
sembunyikan wajahku di balik telapak tangan. Isakan tangisku terdengar lebih
keras dari sebelumnya. Kedua bahuku mulai bergerak naik turun dengan cepat dan
tidak teratur.
Rasanya
memang sudah terlambat. Tapi aku tidak ingin seperti dia. Dia coba-coba bermain
dengan waktu. Berfikir waktu akan selalu datang untuk memberinya kesempatan. Tapi
ternyata tidak. Sekarang, waktulah yang telah mempermainkannya. Waktu
mempermainkan hatinya. Mempermainkan … cintanya.
Sudah
cukup waktu mentertawakanku, sekarang aku yang harus bisa menghentikan waktu
itu. Walau hanya sedetik. Bagiku sudah cukup. Untuk mengatakan..
“aku
mencintaimu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar