Jumat, 20 April 2012

Kebetulankah??


Aku agak khawatir karena pintu rumah sebelah tidak terkunci. Pemiliknya meninggalkan rumah itu tanpa menguncinya terlebih dahulu. Entah karena pemiliknya lupa atau memang sengaja dibiarkan tidak terkunci. Tapi kurasa tidak mungkin dia membiarkannya terbuka begitu saja tanpa seorang penghuni di dalamnya. Aku datang menghampiri rumahnya dan mencoba untuk menutup pintu rumah itu. Tidak berhasil, pintunya sudah tidak bisa tertutup dengan rapat. Aku menghela nafas pendek, mengapa pemilik rumah ini begitu ceroboh meninggalkan rumahnya tanpa penjagaan. Aku kembali mencoba untuk menutup pintu tersebut, kali ini aku menarik gorden jendela dekat pintu lalu ku selipkan di celah pintu agar bisa tertutup. Sekarang sedikit bahan gorden itu menyelip di pintu. Setidaknya aku berhasil menutup pintu itu dengan rapat. Setelah melihat keadaan sekeliling yang sepi, aku kembali ke dalam rumahku. Pekerjaanku masih banyak yang harus diselesaikan tapi aku masih sangat khawatir dengan rumah di sebelah. Akhir-akhir ini banyak sekali kejadian-kejadian aneh. Maling-maling seperti sedang berkeliaran di mana-mana. Mereka begitu kelaparan akan barang curian. Mungkin sandal bututpun akan mereka curi jika ada kesempatan yang memungkinkan bagi mereka. Aku tidak habis pikir dengan para maling ini. Apakah mereka begitu kelaparannya sampai barang bututpun akan mereka ambil? Meskipun begitu aku menjadi sangat kesal pada para maling itu. Tidakkah mereka mempunyai belas kasihan pada orang yang mereka curi barangnya? Atau karena memang mencuri sudah merupakan pekerjaan sehari-hari mereka? Yang membuatku bingung adalah mengapa mereka selalu datang di saat yang tepat? Seakan-akan mereka selalu mengetahui kapan pintu rumah seseorang akan terbuka walaupun hanya untuk beberapa menit. Setelah itu. BLESS. Hilanglah barang-barang yang ada.
Aku masih memikirkan bagaimana keadaan rumah sebelah. Apakah maling itu sudah mengetahui keadaan rumah itu? yang memang sangat menguntungkan bagi mereka. Setidaknya mereka mendapatkan beberapa sepatu dan sandal untuk dicuri. Aish, merepotkan sekali. Kenapa aku yang kerepotan seperti ini? Kalau saja aku bukan manusia yang penuh rasa iba, mungkin aku tidak akan repot-repot untuk mengawasi rumah itu. Dengan sedikit waspada aku memutar kunci rumahku, membuka pintu rumah dengan perlahan. Sebenarnya aku malas sekali jika harus mendatangi rumah sebelah lagi jadi aku hanya berniat untuk menengoknya saja dari halaman rumah. Aku tidak tahu ini sebuah kesialan atau mungkin keberuntungan untukkku. Ketika aku melongokkan kepalaku ke sebelah, seseorang datang untuk melewati jalan. Dug. Jantungku berdegup. Kedua bola mata yang terbingkai di dalam frame kacamata hitam itu menatap aneh padaku. Kalau saja aku bisa melihat isi dalam otaknya mungkin saja dia sedang berpikir bahwa aku adalah gadis yang aneh. Atau mungkin saja dia berpikir aku hendak melakukan suatu hal yang patut untuk dicurigai. Bukankah itu sangat memalukan sekali? Bayangkan saja ketika kau sedang mengendap-endap untuk mengawasi sebuah rumah, seseorang melihatmu dengan tidak sengaja. Dengan cepat aku kembali masuk ke dalam rumahku. Mengunci kembali pintu rumahku. Aku merutuk diriku sendiri dalam hati. Kenapa aku harus melakukan hal bodoh seperti itu. Karena kejadian itu, aku tidak lagi berniat untuk mengawasi  rumah sebelah.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku harus menemui seorang teman di dekat jalan besar yang tidak jauh dari rumahku. Dia sudah menungguku di sana. Pekerjaanku belum selesai, tapi aku tidak bisa membiarkan temanku menunggu terlalu lama. Jadi aku biarkan saja semua pekerjaanku tergeletak berantakan di lantai kamarku. Sementara aku bergegas untuk mengganti bajuku. Setelah itu aku membuka pintu rumah. Ketika aku mengunci pintu rumah, seseorang lewat di depan halaman rumah. Aku keluar dari halaman dan mendapati kembali sosok pria itu. Apakah aku pernah melihatnya? Tentu saja aku pernah melihatnya. Dia pria yang tadi siang memergokiku sedang mengendap-endap mengawasi rumah sebelah. Pria itu mengenakan celana jeans dan juga kemeja jeansnya. Kancing paling atas kemejanya sengaja dia biarkan terbuka. Bukan karena dia orang yang memergokiku sedang mengendap-endap tapi aku memang seringkali melihatnya. Kejadian siang tadi membuatku gugup dan tidak menyadari bahwa pria itu yang tengah memergokiku. Tapi sekarang aku yakin bahwa itu adalah dia.
Dia bukanlah orang yang spesial. Dia hanya pria biasa. Namun di mataku, dia adalah sosok yang luar biasa. Entah sejak kapan aku mengaguminya seperti ini. Meskipun dia tidak pernah mengenalku, aku tidak pernah ambil pusing. Sekali lagi aku katakan bahwa aku mengaguminya. Entah mengaguminya dalam arti kata aku menyukainya atau apapun itu. Aku benar-benar tidak tahu. Tapi kurasa, aku cukup menyukainya. Terlebih karena bakat yang dimilikinya, dia juga memiliki wajah yang cukup tampan. Aku tidak tahu mengapa aku bisa menyebutnya tampan, karena ketampanan seseorang itu relatif. Menurut pendapat temanku, sebenarnya wajahnya itu biasa saja. Tapi tidak jika menurutku. Penampilannya yang mendukung semakin membuatku tertarik padanya. Meskipun cara berpakaiannya terbilang biasa tapi bisa dibilang dia orang yang bisa mengikuti perubahan zaman. Walaupun sekarang dia sedang mengenakan sandal jepit, dia tetap terlihat cukup keren. Hah. Kenapa aku harus terjebak seperti ini. Bahkan melihat punggungnya saja sudah membuat jantungku berdetak tidak karuan. Aku tetap berjalan di belakangnya. Mengikuti setiap gerak langkah kakinya. Bahkan aku bisa mendengar setiap irama dalam langkahnya.
Tidak peduli bagaimanapun risihnya aku berjalan di belakangnya, aku tetap pada langkahku. Tidak ada jalan lain yang bisa ku lewati. Arah perjalanan kami sama. Entah dia menyadari keberadaanku atau tidak tapi dia tidak menoleh ke belakang untuk melihatku. Tidak bisakah kalian bayangkan ketika berjalan di belakang seseorang dan tidak ada orang lain yang juga berjalan dengan arah yang sama. Hanya kalian berdua. Selain bunyi langkah kaki yang saling beriringan, juga detak jantungmu yang berdetak tidak wajar. Mungkin saat itu detak jantung kalian berdetak lebih lambat dari biasanya namun setiap detaknya bisa terdengar cukup keras dan mampu mengagetkanmu. Seperti itulah yang aku rasakan saat ini. Aku khawatir dia menyadari keberadaanku yang tidak nyaman ini. Atau mungkin dia menyadarinya dan hanya diam saja. Biarlah, aku tidak akan pernah tahu apa yang ada di pikirannya. Sepanjang jalan, aku hanya berpura-pura berkutat dengan ponselku. Aku tidak ingin terlihat mencolok ketika berada di belakangnya. Sepanjang jalan itu pula sepertinya semua orang mengenal pria itu. Tidak pria ataupun wanita yang lewat selalu menyapanya. Pria itu juga terlihat akrab ketika ada seorang anak kecil yang lewat. Ataupun satpam yang sedang berjaga. Sepertinya, setiap langkah kakinya dia tidak pernah lupa untuk tersenyum. Seandainya saja senyumnya itu diberikan juga untukku, mungkin aku akan membeku untuk beberapa menit sebelum sempat membalas senyumannya. Tapi aku tahu itu adalah hal yang tidak mungkin. Sudah ku katakan sebelumnya bahwa dia tidak mengenalku.
Langkah demi langkah aku berjalan dan hanya terus mengekor di belakangnya. Aku bisa saja mempercepat langkahku untuk mendahuluinya tapi sepertinya akan lebih mudah bagiku jika terus seperti ini. Aku tidak ingin melewatkan saat seperti ini. Meskipun kami hanya seperti dua orang yang tidak saling kenal yang secara kebetulan sedang berjalan beriringan, aku tetap merasa senang. Aku masih ingin merasakan sensasi adrenalinku ketika aku menatap punggungnya dan mendengar setiap gerak langkah kakinya. Meskipun aku tidak ingin dia menganggapku hanya mengekor di belakangnya tapi bukankah memang kami dalam arah yang sama? Biarkan saja dia menganggapku seperti itu saat ini. Pada kenyataannya aku tidak dengan sengaja untuk mengikutinya.
Perjalanan kami mungkin hanya menempuh waktu selama lima menit atau mungkin hanya mencapai tiga menit. Waktu yang sangat berharga menurutku. Kami sudah sampai di jalan besar. Dari jauh aku bisa melihat temanku sedang berkacak pinggang melihatku. Aku hanya tersenyum-senyum kecil padanya. Pria itu masih berada di depanku. Apakah dia masih mengira aku sedang mengikutinya? Tanpa pikir panjang lagi, aku berjalan melewatinya. Tanpa kata kami berpisah. Saat itu kami memang hanyalah dua orang yang sedang berjalan dengan arah yang sama. Kami tidak sengaja bertemu tanpa kata dan berpisah tanpa kata. Selamanya rasa sukaku padanya hanya akan terus seperti ini. Dia pergi tanpa pernah mengenalku. Dan aku tak akan pernah bisa mendekatinya. Hanya punggung tegapnya yang masih terekam dalam ingatanku. Apakah pertemuan ini hanya sebuah kebetulan? Ataukah sudah rancangan dari takdir Tuhan?

Tidak ada komentar: