Sabtu, 20 April 2013

Love Is Time (2)


Bagian 2


Aku dan Dia.

“aku mencintaimu”
Satu detik yang bagai sihir mampu membuatnya menoleh padaku. Menatapku dengan penuh penyesalan. Tangannya secara perlahan menyelinap di belakangku. Tepat di punggungku. Masih menggantung di sana. Jauh dalam hatinya, aku tahu dia ingin sekali merengkuhku. Namun dia mengabaikan keinginannya. Hanya kedua bibirnya yang terangkat.
“cinta manusia.. hanya Tuhan yang menentukan. Jika Tuhan berkehendak, percayalah kau akan kembali padaku. Pada saat itu.. maka bukan lagi aku yang membisu. Tapi waktu..”

Aku dan dia mungkin tidak akan pernah menjadi satu. Atau mungkin rasanya sangat sulit sekali. Egoku terlalu besar. Dan Dia… entah bagaimana dia bertindak dan berpikir. Aku tidak bisa merabanya sedikitpun. Hanya satu yang aku tahu. Hatiku telah menyimpan dirinya di tempat yang paling istimewa. Meski aku tahu bahwa untuk bersamanya adalah hal yang tidak mungkin. Karena ada sekat, yang tanpa sadar telah kubangun di antara aku dan dia.
Mungkin cinta bukanlah hanya getaran detak jantung yang berpacu cepat. Dibalik kegugupanku, ada kenyamanan yang tercipta setiap kali dia berada di dekatku. Tapi untuk sekarang, aku tidak akan mungkin untuk melihat matanya ataupun menatap wajahnya. Sepertinya dia pun melakukan hal yang sama. Tapi mungkin alasan kami tidak saling bertatapan adalah bukan alasan yang sama.
Dia terlalu baik untukku. Tapi dengan jahatnya, aku telah menyakitinya. Aku jelas-jelas menusuk dirinya dari belakang. Tidak ku sangka, aku telah melukainya tanpa dia tahu. Aku ingin sekali jujur padanya, tapi setiap kali mulutku terbuka hanya hembusan angin saja yang keluar. Karena itu, aku merasa tidak pantas untuk menatapnya.
Bagaimana dengan dia? Entahlah. Dia adalah sebuah teka-teki. Meskipun aku mengetahui sesuatu dengan jelas. Alasan kenapa dia tidak menatap wajahku. Alasan kenapa dia selalu bersembunyi di balik semua kebaikannya. Karena dia… seorang pengecut. Aku benci mengatakannya, tapi dia memang seorang yang pengecut. Aku ingin sekali memakinya karena alasan itu, tapi mungkin tidak akan pernah kulakukan. Aku terlalu menghormatinya.
“apa kau pernah merasakan jatuh cinta?”, ucapnya dengan lembut.
Deg. Jantungku seakan ingin melompat keluar dari persembunyiannya.
“mencintai seseorang”, katanya lagi.
“namun kau tidak bisa mengungkapkannya”
Mataku sudah berkaca-kaca ketika dia mengatakan kata-kata terakhirnya. Apakah dia hanya sedang berusaha untuk menjebakku? Menjebakku dengan apa yang dikatakannya ini? Bagaimana mungkin dia bisa berkata seperti itu padaku?
Haruskah aku yang mengatakan padanya.
Bahwa aku … mencintainya.
Ku seka mataku yang masih kering. Bila sampai aku harus mati sesak karena menahan nafas, daripada aku meneteskan air mataku walau setetes. Aku mencintainya. Begitupun dengannya, aku tahu dia juga mencintaiku. Meskipun hingga saat ini, dia hanya mencintaiku dalam kebisuannya.
Aku menghirup sedikit oksigen dan berusaha untuk menahan nafas sebelum aku angkat bicara, “kalau begitu ungkapkan”
“apakah begitu sulit untuk mengungkapkannya?”, kataku padanya. Satu tanganku meremas ujung bajuku. Aku tidak akan bisa bertahan pada percakapan omong kosong ini jika bukan untuk sebuah alasan. Alasan untuk mendapatkan sebuah penjelasan atas sebuah rasa yang ada di antara aku dan dia.
“Ya”, jawabnya. Suaranya tegas dan mantap. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam suaranya.
“kenapa?”, kataku pelan.
“karena sudah terlalu lama rasa itu terpendam”, katanya lagi. Suara tegasnya menghilang. Wajahnya tertunduk.
“kenapa tidak diungkapkan?”, kataku seolah mempertegas kembali pertanyaanku padanya. Berusaha mencecar kebisuannya selama ini.
Aku terdiam sejenak, “perasaan tidak bisa terus dipenjara dalam hati, pada akhirnya ia harus diungkapkan”
Kata-kata itu muncul begitu saja tanpa kusadari.
“pada akhirnya orang yang kita cintai hanya akan menjadi milik orang lain”, katanya sendu. Dadaku sesak, seakan ingin memuntahkan apa yang tertekan di dalamnya. Kerongkonganku seakan kering dalam sekejap. Semua air mata seakan telah menggumul dipelupuk mata. Dia seolah akan menusukku dari depan. Tepat di depan mataku. Aku… ya, aku dan semua perasaan bersalahku padanya. Tubuhku gemetar seketika.
Dia tersenyum simpul. Entah apa yang membuat bibirnya sedikit terangkat, menunjukkan senyuman yang mengerikan. “mungkin aku terlalu munafik”, ujarnya pada diri sendiri.
“aku menyukai gadis itu.. tapi di sisi lain agama melarang”
Aku semakin tertunduk dalam. Tolong, hentikan semua perkataan itu. Aku tidak ingin mendengarnya lagi, jeritku dalam hati.
‘aku hanya ingin mendengar dia mengatakan ‘aku mencintaimu’’, hati kecilku ikut berbicara.
Apakah aku terlalu egois? Terperangkapkah aku oleh sebuah nafsu beratas namakan cinta?
“bukankah Allah menitipkan rasa cinta di hati setiap manusia? Untuk saling mencintai?”, dengar saja, begitu lihainya aku berkelit. Melampiaskan luka hatiku.
“jika hanya dosa yang menjadi jawaban, lebih baik cinta tidak perlu diungkapkan. Bahkan tanpa diungkapkan, cinta bisa menjerat manusia sebagai tali setan”,  
Runtuh sudah pertahanan yang susah payah kubuat. Air mata mengalir deras membasahi pipiku, berjatuhan dan meresap diatas rokku saat terjatuh. Aku salah menilai. Ternyata dialah seseorang yang sesungguhnya. Tapi aku.. memilih orang lain.
“abah berpesan..”, katanya. Dia mendengar isak tangisku, tapi dia tetap melanjutkan bicaranya tanpa menoleh padaku.
“seorang pria harus bisa bertanggung jawab. Berusahalah untuk bertanggung jawab pada diri sendiri sebelum mengambil tanggung jawab pada orang lain sebagai seorang pria dewasa”, pikirannya seolah menerobos ruang dan waktu. Dia seakan tidak sedang berada di sampingku ketika dia mengatakan perkataan itu.
Aku menggeleng. Setiap detik menghapus air mata yang tak kunjung berhenti dengan punggung tanganku. Isakan tangisku semakin terdengar.
“berhenti!!!”, suaraku terdengar parau. Kututup kedua alat pendengaranku dengan telapak tangan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya membuat rasa penyesalanku menggunung. Dan dia seolah sedang menyeret paksa tubuhku dari pertengahan gunung menuju puncak penyesalan yang lebih tinggi.
Aku harus mengakhiri semua sandiwara yang sudah kubuat. Aku harus mengakhiri kejahatanku padanya. Dia… tidak seharusnya terluka. Karena aku.
“semua yang kau katakan benar”, kataku dengan perasaan tertekan.
“jika memang cinta adalah waktu. Maka semua sudah terlambat..”, perlahan aku menurunkan telapak tanganku dari telingaku.
Aku berusaha untuk tetap tegar, mengakui kebenaran yang selama ini kusembunyikan. Semata-mata untuk menjaga perasaannya walau pada kenyataannya aku justru hanya melukainya lebih dalam.
“aku… sudah menjadi milik orang lain”
Sunyi.
Dia membisu. Bukan kebisuan yang seperti biasanya. Dia membisu dalam duka. Dia membisu menahan sakit. Otot-ototnya menegang. Nafasnya tercekat. Kedua matanya memerah.
Aku melakukannya. Memanggil hatinya dari tempat persembunyiannya. Lalu sedikit demi sedikit aku membuat lubang kasat mata di sana. Dan sekarang, aku telah membuka tabir yang selama ini menutupi lubang besar yang kubuat di hatinya. Menghempaskannya kembali di tempat persembunyiannya yang gelap.
Aku tidak pernah pantas lagi untuk menunjukkan wajahku di hadapannya. Ku sembunyikan wajahku di balik telapak tangan. Isakan tangisku terdengar lebih keras dari sebelumnya. Kedua bahuku mulai bergerak naik turun dengan cepat dan tidak teratur.
Rasanya memang sudah terlambat. Tapi aku tidak ingin seperti dia. Dia coba-coba bermain dengan waktu. Berfikir waktu akan selalu datang untuk memberinya kesempatan. Tapi ternyata tidak. Sekarang, waktulah yang telah mempermainkannya. Waktu mempermainkan hatinya. Mempermainkan … cintanya.
Sudah cukup waktu mentertawakanku, sekarang aku yang harus bisa menghentikan waktu itu. Walau hanya sedetik. Bagiku sudah cukup. Untuk mengatakan..
“aku mencintaimu”



Love Is Time


 Bagian 1


‘apakah sesulit itu untuk mengatakan cinta?’

Aku-Kamu-Dia
Aku terlalu tergesa-gesa untuk memaksa. Memaksa hatiku. Untuk memilih. Memilih sesuatu yang tidak seharusnya untuk dipilih. Dan apakah sekarang aku menyesal? Untuk apa? Apakah aku menyesal untuk sebuah kebisuan? Ataukah menyesal untuk sebuah penantian yang aku pikir tidak akan pernah berujung? Atau mungkinkah aku harus menyesali kehadirannya?
Aku berada di sampingmu. Tapi aku tahu, pikiranku tidak berada bersama ragaku. Selalu seperti itu jika aku berada bersamamu. Aku selalu ingin melarikan diri. Bukan karena dirimu, tapi karena diriku. Aku tidak pernah melakukan kejahatan apapun sebelumnya. Tapi sejak aku memutuskan untuk bersamamu, aku telah melakukan kejahatan terbesar dalam hidupku. Aku membunuh perasaanku sendiri. Aku penipu ulung yang telah menipu perasaanmu terhadapku. Dan aku melakukan penyiksaan secara diam-diam terhadapnya.
“ada apa?”
Terkadang aku memang terlalu baik untuk sebuah sandiwara tapi selalu saja ada celah yang bisa membuatku tertangkap. Mungkin kamu memang sudah seharusnya mencurigaiku. Aku ingin sekali jujur dan membongkar penyamaranku selama ini padamu.
“tidak”, setiap kali mulutku terbuka, semua hanya kata-kata yang penuh dengan penyangkalan. Satu-satunya hal yang semakin terasah dari diriku. Kelihaianku untuk berbohong. Berbohong pada diriku sendiri. Berbohong pada dirimu. Dan berbohong pada dirinya.
Aku terperangkap. Terperangkap oleh jebakan yang kubuat sendiri. Dan yang lebih menyedihkannya lagi, jebakan itu sengaja kubuat untuk diriku sendiri. Dari awal aku memang bukan seorang penjahat. Aku membiarkan diriku sendiri yang terperangkap agar tidak ada orang lain yang terjatuh. Tapi ternyata aku salah. Semuanya menjadi kacau. Aku memang terperangkap jebakanku sendiri tapi aku tidak pernah berpikir bahwa aku membawa rantai. Rantai yang menghubungkanku padamu. Juga rantai yang menghubungkanku dengannya..
Apakah mungkin kamu tidak menyadari bahwa kamu telah terjebak?
Apakah mungkin dia belum menyadari bahwa dirinya yang terperosok, terjatuh, dan terluka lebih dalam di antara rantai yang mengikat aku-kamu-dia?
Entah untuk yang keberapa kalinya aku meneteskan air mataku. Karena kebodohanku. Dan juga karena kebisuannya. Aku tidak ingin lagi menyakiti siapapun. Tidak kamu. Tidak dia. Juga tidak diriku sendiri.
Kamu hanya tersenyum di sampingku. Aku tahu kamu tidak pernah menipuku. Kamu adalah orang baik. Dan terlebih dari semua itu, kamu adalah seorang pria yang bertanggung jawab dan jujur. Karena hal itulah aku bersamamu saat ini.
Karena kejujuranmu yang mengatakan bahwa kamu mencintaiku. Terlebih dari itu, aku menyukai keberanianmu untuk mengungkapkan perasaanmu. Tidak hanya sekali. Aku mendengarmu berkali-kali mengatakannya. Berusaha untuk memantapkan aku agar berada di sisimu.
Untuk bisa bersamamu, bahkan aku harus mengabaikan hatiku. Aku harus memantapkan hatiku untuk meninggalkan Dia.
Kali ini aku tidak lagi berbohong. Aku menyukai Dia meskipun aku juga merasa nyaman saat bersamamu. Tapi aku lebih menyukai Dia. Menyukai sikapnya selama ini kepadaku.
------------
Saat itu hujan turun dengan deras. Aku masih berada di kampus sementara jam kuliahku sudah selesai. Aku tidak bisa langsung pulang karena tidak membawa payung. Aku keluar dari gedung fakultas bersama teman-temanku.
Dia membuatku terkejut. Dengan sebuah payung yang ada di tangannya, dia bersandar di dinding. Mendekatkan dirinya serapat mungkin pada dinding agar tidak terkena cipratan air hujan. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Atau kenapa dia berada di sini? karena ini bukanlah fakultasnya..
Aku menelan ludah. Mengingat beberapa menit yang lalu aku memberitahunya bahwa aku tidak bisa pulang karena hujan. Dan sekarang, dia berada di sini. Dengan sebuah payung di tangannya.
Dia menoleh dan melihatku. Kupaksakan senyumku padanya. “sedang apa?”, tanyaku berbasa-basi. Dia terdiam. Tapi kemudian tersenyum.
“mau pulang?”, tanyanya padaku dengan ramah, memainkan payung yang sedang dipegangnya.
Dengan cepat aku menggeleng dan mengatakan akan menunggu hujan hingga reda. Kemudian aku kembali beralih pada teman-temanku. Dia tidak mengatakan apapun lagi. Namun masih tetap berdiri di sana. Dengan sebuah payung di tangannya. Yang bahkan tidak digunakan untuk dirinya sendiri. Dia sedang menunggu. Entah apa yang sedang ditunggunya.
Sudah hampir satu jam berlalu. Hujan tidak kunjung reda. Aku terlalu asyik bersenda gurau dengan beberapa teman. Tapi dia masih tetap diam. Menunggu. Dengan sebuah payung yang masih berada di tangannya.
Tiba-tiba, seorang senior menghampiriku. Bertanya ini dan itu padaku. Lalu bertanya kenapa aku tidak juga pulang. Sampai akhirnya kami membicarakan Dia. Senior itu mengatakan bahwa Dia telah meminjam payung padanya. Entah untuk apa. Seperti untuk sesuatu yang penting. Tapi sekarang, Dia hanya berada di sana. Berdiam diri. Membiarkan payung itu tetap di tangannya namun tidak digunakannya.
Aku menelan ludah lagi. Aku berpura-pura tidak tahu. Bahwa Dia… menungguku.
Tapi aku berlari. Berlari menerobos hujan yang tinggal rintik-rintik. Meninggalkan dia yang masih berdiri di sana. Dengan payung di tangannya. Menatap kepergianku. Aku sudah berlari, dan tidak ingin menoleh kembali. Membiarkan air hujan membasahiku. Mengusir penyesalan yang datang secara tiba-tiba. Aku memang bodoh. Aku bahkan tidak tahu caranya menghadapi seorang pria. Tidak tahu bagaimana menerima sebuah ‘perhatian kecil’ dari seseorang dengan sebuah payung pinjaman di tangannya.
Aku bahkan tidak bisa melupakan kejadian kecil itu. Atau mungkin kejadian lucu yang aku alami bersama Dia. Aku tahu kalau aku memang sedikit pemalu. Tapi aku tidak tahu apakah dia memang pemalu atau tidak. Apakah kami berdua sama-sama pemalu?
Aku dan Dia berada di satu ruangan yang sama. Ada banyak orang dalam ruangan itu. Aku mencoba mengalihkan perhatianku pada sesuatu yang lain. Tapi aku tahu, ada sepasang mata yang sedang memperhatikan setiap gerak-gerikku. Sepasang mata milik Dia. Aku tidak mengerti kenapa Dia melakukan itu padaku. Aku menjadi tidak bisa tenang karena jantungku ikut bereaksi karena tatapan yang diberikannya padaku.
Perhatianku kembali teralih pada ponselku ketika ada sebuah pesan singkat yang masuk. Pesan singkat dari Dia. Aku harus bisa menahan senyumku agar tidak ada yang melihat. Kami masih di dalam satu ruangan, tapi Dia memilih untuk memberikanku pesan singkat yang tidak cukup penting. Hanya sekedar berbasa-basi. Aku mencuri pandang. Mencoba melihat Dia. Tapi Dia sudah tidak ada di tempatnya semula. Hanya punggungnya yang terlihat bergegas dengan cepat meninggalkan ruangan. Sekarang aku tahu. Dia seorang pemalu.

Dia, yang tanpa kuminta selalu ada di sampingku. Membantuku tanpa aku meminta padanya. Tidak peduli dia sedang apa. Tidak peduli dia ada di mana. Tidak peduli apapun yang sedang terjadi padanya. Dia selalu ada di saat aku membutuhkan sebuah bantuan.
Beberapa kali juga Dia sempat mengajakku keluar untuk sekedar makan malam bersamanya. Setiap kali itu juga aku menjadi seseorang yang bodoh. Bagaimana bisa aku berharap dia akan mengatakan sesuatu padaku. Karena dia tidak pernah mengatakan sesuatu yang aku harapkan.
Tapi hari itu, aku ingin sekali menangis. Aku merasa tertipu oleh Dia. Tertipu dengan segala kebaikannya padaku. Dia yang aku kagumi, selalu bersikap baik pada semua orang. Dadaku sesak. Mungkin aku terlalu berharap banyak padanya.
Dia bukan manusia yang mudah untuk ditebak. Lebih sulit menemukan jawaban dari Dia dibandingkan menyelesaikan sebuah soal kalkulus yang tersulit sekalipun. Bagiku dia hanyalah seseorang yang penuh dengan pertanyaan. Dia menutup dirinya terlalu rapat, sehingga aku sulit untuk menemukan celah untuk mencari tahu apa yang dia pikirkan. Mencari tahu apa yang Dia rasakan. Mencari tahu … mengapa dia mempermainkan perasaanku.

Maka dari itu, aku telah memutuskan.
Tapi kenapa… dadaku sakit sekali.

“Dia mencintaimu”, seseorang mengatakan hal yang hampir membuat seluruh tulang kakiku bagai remuk dalam sekejap. Hanya sebuah pengandaian yang terbersit dalam hati. Sekarang rasanya semua sudah terlambat…
Bahwa aku..
Tidak akan bisa melepaskan rantai yang telah menjeratku..
Rantai yang telah disimpul mati.