Minggu, 31 Maret 2013

Dunia dalam Bingkai Jendela




Jendela kamar tanpa tirai
Lampu kamar yang telah dipadamkan
Gelap.
Tapi tidak, ketika cahaya bulan masuk melalui jendela tanpa tirai
Seberkas cahaya membentuk bingkai jendela.

Aku menoleh.
Dan melihat dunia dalam bingkai jendela kamarku.

Suatu hari nanti aku akan melihat dunia yang luas..
Lewat bingkai jendela..
Bingkai jendela kamarku yang lain.
Dengan langit yang masih sama
Namun dengan gambar dunia yang berbeda.

Mungkin tanah airku yang berada di luar bingkai jendela itu.
Mungkin juga bukan tanah air yang sama yang kulihat sekarang.

Dunia dalam bingkai jendela.
Dunia dari berbagai belahan dunia.

Suatu hari nanti..
Aku melihat dunia dalam bingkai jendela tanpa tirai.
Tidak lagi seorang diri.

Suatu hari nanti..
Aku melihat dunia dalam bingkai jendela tanpa tirai.

Bersama seseorang di sampingku.
Dengan sebuah pelukan hangat
Menatap lewat bingkai jendela tanpa tirai.
Menyadari bahwa aku telah melihat banyak dunia dari bingkai jendela yang berbeda.

Minggu, 17 Maret 2013

(BUKAN) MERINDUKANMU


Lelaki itu berjalan di belakangku. Atau mungkin sesekali dia mengimbangi jalanku. Dia mungkin sudah berusaha keras untuk memenangkanku. Tapi bagaimana bisa. Bagaimana bisa aku memikirkanmu setiap kali aku bersama lelaki itu atau mungkin lelaki lain. Selalu.
Tiba-tiba aku merindukanmu. Merindukan sikapmu yang hangat. Merindukan senyummu. Merindukan kamu yang berkacak pinggang dengan sebelah tangan dan membiarkan tanganku memasuki ruang kosong yang disediakan lenganmu.
Hari itu udara cukup dingin karena angin yang berhembus kencang. Langit gelap karena matahari terhalang awan hitam. Hingga kemudian tetes-tetes air jatuh dari langit. Aku menggenggam kedua telapak tanganku dan menyembunyikannya di ujung bajuku.
Kamu ada di sampingku. Dengan cepat kamu melepas jaket yang kamu kenakan, menyodorkannya padaku. Aku menggeleng. Kamu tetap menyodorkannya. Dan aku masih menggeleng.
Aku menyandarkan tubuhku di dinding. Mendekat dengan beberapa teman dan berbicara. Kamu mendekat dan duduk di sampingku. Menyandarkan tubuh di dinding. Kamu menyerahkan jaketmu (lagi). Aku masih menggeleng.
“katanya baru sembuh sakit”, katamu dan tanpa menunggu gelengan kepalaku lagi, kamu menyampirkan jaket menutupi tubuhku yang bersandar di dinding. Dengan lembut kamu menyapukan telapak tanganmu di wajahku lalu tersenyum sambil berkata, “keras kepala”
Atau ketika hari itu, kamu dan beberapa temanmu. Aku berada di sana. Dan kamu menghampiriku.
“ayo pergi”, katamu.  
Aku menggeleng dan mengatakan tidak mau pergi. Tapi kamu terus memaksa dan semua temanmu ikut memaksaku untuk ikut pergi dengan kalian. Aku tetap menggeleng dan mengatakan akan pulang saja.
“nanti aku antar kamu pulang”, kamu mencoba menengahi dan menarik lenganku lalu menggenggam tanganku. Memaksaku untuk tetap ikut pergi. Tapi aku tidak pernah merasa dipaksa. Karena ada seseorang. Yang akan mengantarku pulang.
Tapi di tengah perjalanan, hujan kembali datang. Musim hujan masih belum terganti. Tidak terlalu lebat, hanya rintik-rintik kecil. Namun cukup menusuk ketika angin menghantamkannya masuk ke dalam lengan baju yang kukenakan. Kamu tidak menghentikan laju motornya. Aku tahu kamu lagi sakit.
“kenapa tidak berhenti? Kenakan jas hujannya”, kataku setengah berteriak di belakangmu.
Kamu menjawab, “hanya ada satu”
Aku diam. Mencoba menerka apa yang kamu maksud.
“tidak ada jas hujan untuk kamu”, katamu lagi.
Aku bilang tidak apa. Ya, aku bisa melawan air hujan. Tapi tidak untuk kamu. Kamu tetap tidak berhenti. Dan aku merasa bersalah karena tidak berusaha tetap keras kepala untuk tidak ikut.
“jika satu jas hujan tidak bisa digunakan untuk berdua, lebih baik tidak usah digunakan”
Aku tidak lagi berbicara.
Lagi-lagi aku merindukanmu. Merindukan kamu yang dengan lembut memintaku mengadahkan telapak tangan hanya untuk memberikan sebuah permen. Merindukan tanganmu ketika menarikku. Merindukan kamu yang menyapu lembut wajahku dengan telapak tanganmu.
Tidak ada satupun lelaki yang bisa membuatku nyaman. Tidak ada. Termasuk lelaki itu. Atau beberapa lelaki lain yang kutemui. Tapi bersama kamu, bukan hanya sekedar mendapatkan kenyamanan. Aku bisa menjadi diriku sendiri. Tidak pernah merasa canggung. Tidak pernah merasa bosan. Tidak pernah merasa tertekan. Bersama kamu, aku seperti bebas. Kamu memberikan aku ruang untuk bisa menghirup oksigen bersamamu. Bukan menghirup oksigen secara bergantian sehingga harus sedikit tersiksa karena mencoba bertahan menunggu untuk menghirup oksigen yang selanjutnya.
Tapi aku tahu semua hanya perasaanku saja. Aku menyadari sejak awal, kamu telah terikat dengan perempuan lain. Dan ada satu perempuan lain juga yang selalu kamu datangi. Aku tidak akan melangkah terlalu jauh. Tidak ada yang salah dengan kenyamanan yang kamu buat. Atau kebaikanmu yang akan menjatuhkan perasaan setiap perempuan. Tidak terkecuali aku. Seorang aku yang tidak pernah merasa dekat dengan seorang lelaki sampai kamu datang memberikanku kenyamanan dan kehangatan.  Bagaimana bisa aku menyalahkanmu kalau sampai aku jatuh pada perasaanku sendiri.
Aku dan kamu. Bahkan tidak pernah sedekat itu. Bukan juga sebuah persahabatan. Cukup satu kata untuk mendapatkan definisi yang tepat jika aku mengatakan ‘aku dan kamu’.
Teman.
Aku seperti terbawa ombak yang sekedar menepi sejenak di daratan setelah mengarungi dinginnya samudra. Mencicipi sedikit hangatnya tepi daratan. Menyadari bahwa ombak pun bisa merasakan kengatan itu. Tapi aku harus ingat, bahwa ombak harus lenyap kembali ke samudra. Entah kapan ombak itu akan bisa kembali merasakan kehangatan berada di tepi daratan dan meresap di sana. Atau mungkin tetap tersesat di luasnya samudra. Atau sekalipun kembali ke tepi, itu bukanlah tempat yang sama. Dan mungkin tidak akan sehangat tepi yang sebelumnya.
Mungkin aku adalah ombak yang kembali tersesat di samudra yang luas itu. Tidak pasti kapan akan kembali menemukan kehangatan tepi daratan seperti yang sebelumnya. Ya, menemukan kembali. Bukan kembali lagi. Jika saja aku bisa menemukan kehangatan dan kenyamanan yang sama atau mungkin lebih baik. Aku tahu, ada satu hal yang pasti.
Bahwa aku (bukan) merindukanmu.
Merindukan kenyamanan yang kamu berikan. Merindukan kehangatan yang kudapatkan ketika bersamamu. Berharap dapat menggapai rindu itu dalam genggamanku. Meski (bukan) darimu lagi.