Lelaki
itu berjalan di belakangku. Atau mungkin sesekali dia mengimbangi jalanku. Dia
mungkin sudah berusaha keras untuk memenangkanku. Tapi bagaimana bisa.
Bagaimana bisa aku memikirkanmu setiap kali aku bersama lelaki itu atau mungkin
lelaki lain. Selalu.
Tiba-tiba
aku merindukanmu. Merindukan sikapmu yang hangat. Merindukan senyummu.
Merindukan kamu yang berkacak pinggang dengan sebelah tangan dan membiarkan
tanganku memasuki ruang kosong yang disediakan lenganmu.
Hari itu
udara cukup dingin karena angin yang berhembus kencang. Langit gelap karena
matahari terhalang awan hitam. Hingga kemudian tetes-tetes air jatuh dari
langit. Aku menggenggam kedua telapak tanganku dan menyembunyikannya di ujung
bajuku.
Kamu
ada di sampingku. Dengan cepat kamu melepas jaket yang kamu kenakan,
menyodorkannya padaku. Aku menggeleng. Kamu tetap menyodorkannya. Dan aku masih
menggeleng.
Aku
menyandarkan tubuhku di dinding. Mendekat dengan beberapa teman dan berbicara.
Kamu mendekat dan duduk di sampingku. Menyandarkan tubuh di dinding. Kamu
menyerahkan jaketmu (lagi). Aku masih menggeleng.
“katanya
baru sembuh sakit”, katamu dan tanpa menunggu gelengan kepalaku lagi, kamu
menyampirkan jaket menutupi tubuhku yang bersandar di dinding. Dengan lembut
kamu menyapukan telapak tanganmu di wajahku lalu tersenyum sambil berkata,
“keras kepala”
Atau
ketika hari itu, kamu dan beberapa temanmu. Aku berada di sana. Dan kamu
menghampiriku.
“ayo
pergi”, katamu.
Aku
menggeleng dan mengatakan tidak mau pergi. Tapi kamu terus memaksa dan semua
temanmu ikut memaksaku untuk ikut pergi dengan kalian. Aku tetap menggeleng dan
mengatakan akan pulang saja.
“nanti
aku antar kamu pulang”, kamu mencoba menengahi dan menarik lenganku lalu
menggenggam tanganku. Memaksaku untuk tetap ikut pergi. Tapi aku tidak pernah
merasa dipaksa. Karena ada seseorang. Yang akan mengantarku pulang.
Tapi
di tengah perjalanan, hujan kembali datang. Musim hujan masih belum terganti.
Tidak terlalu lebat, hanya rintik-rintik kecil. Namun cukup menusuk ketika
angin menghantamkannya masuk ke dalam lengan baju yang kukenakan. Kamu tidak
menghentikan laju motornya. Aku tahu kamu lagi sakit.
“kenapa
tidak berhenti? Kenakan jas hujannya”, kataku setengah berteriak di belakangmu.
Kamu
menjawab, “hanya ada satu”
Aku
diam. Mencoba menerka apa yang kamu maksud.
“tidak
ada jas hujan untuk kamu”, katamu lagi.
Aku
bilang tidak apa. Ya, aku bisa melawan air hujan. Tapi tidak untuk kamu. Kamu
tetap tidak berhenti. Dan aku merasa bersalah karena tidak berusaha tetap keras
kepala untuk tidak ikut.
“jika
satu jas hujan tidak bisa digunakan untuk berdua, lebih baik tidak usah
digunakan”
Aku
tidak lagi berbicara.
Lagi-lagi
aku merindukanmu. Merindukan kamu yang dengan lembut memintaku mengadahkan
telapak tangan hanya untuk memberikan sebuah permen. Merindukan tanganmu ketika
menarikku. Merindukan kamu yang menyapu lembut wajahku dengan telapak tanganmu.
Tidak
ada satupun lelaki yang bisa membuatku nyaman. Tidak ada. Termasuk lelaki itu. Atau
beberapa lelaki lain yang kutemui. Tapi bersama kamu, bukan hanya sekedar
mendapatkan kenyamanan. Aku bisa menjadi diriku sendiri. Tidak pernah merasa
canggung. Tidak pernah merasa bosan. Tidak pernah merasa tertekan. Bersama
kamu, aku seperti bebas. Kamu memberikan aku ruang untuk bisa menghirup oksigen
bersamamu. Bukan menghirup oksigen secara bergantian sehingga harus sedikit
tersiksa karena mencoba bertahan menunggu untuk menghirup oksigen yang
selanjutnya.
Tapi
aku tahu semua hanya perasaanku saja. Aku menyadari sejak awal, kamu telah
terikat dengan perempuan lain. Dan ada satu perempuan lain juga yang selalu
kamu datangi. Aku tidak akan melangkah terlalu jauh. Tidak ada yang salah
dengan kenyamanan yang kamu buat. Atau kebaikanmu yang akan menjatuhkan
perasaan setiap perempuan. Tidak terkecuali aku. Seorang aku yang tidak pernah
merasa dekat dengan seorang lelaki sampai kamu datang memberikanku kenyamanan
dan kehangatan. Bagaimana bisa aku
menyalahkanmu kalau sampai aku jatuh pada perasaanku sendiri.
Aku
dan kamu. Bahkan tidak pernah sedekat itu. Bukan juga sebuah persahabatan. Cukup
satu kata untuk mendapatkan definisi yang tepat jika aku mengatakan ‘aku dan
kamu’.
Teman.
Aku
seperti terbawa ombak yang sekedar menepi sejenak di daratan setelah mengarungi
dinginnya samudra. Mencicipi sedikit hangatnya tepi daratan. Menyadari bahwa
ombak pun bisa merasakan kengatan itu. Tapi aku harus ingat, bahwa ombak harus
lenyap kembali ke samudra. Entah kapan ombak itu akan bisa kembali merasakan
kehangatan berada di tepi daratan dan meresap di sana. Atau mungkin tetap
tersesat di luasnya samudra. Atau sekalipun kembali ke tepi, itu bukanlah
tempat yang sama. Dan mungkin tidak akan sehangat tepi yang sebelumnya.
Mungkin
aku adalah ombak yang kembali tersesat di samudra yang luas itu. Tidak pasti
kapan akan kembali menemukan kehangatan tepi daratan seperti yang sebelumnya. Ya,
menemukan kembali. Bukan kembali lagi. Jika saja aku bisa menemukan kehangatan
dan kenyamanan yang sama atau mungkin lebih baik. Aku tahu, ada satu hal yang
pasti.
Bahwa
aku (bukan) merindukanmu.
Merindukan
kenyamanan yang kamu berikan. Merindukan kehangatan yang kudapatkan ketika
bersamamu. Berharap dapat menggapai rindu itu dalam genggamanku. Meski (bukan)
darimu lagi.